Selasa, 16 Desember 2014

The Psychosis Lovebirds

She forgot to clean her floor from the rainbow that she vomits
when everytime they kiss
the vivid lights of fireflies he shares from his lips
to her lips he bit
with fangs of beast that he unleashes
while she and him were having psychosis
because they have detached themselves
to the wide ocean of pondering
what love is. What is love?
 (they keep pondering till they came home in the morning)

Now she still forgets to clean her floor from the rainbow she vomitted; she slipped
It was load of liquid rainbows here and there
Cause last night they kissed
and the rainbow glowed out from her mouth,
turning into liquor he drank till he was drunk
hiccup hiccup hiccup!
He turned into the beast everybody fears
And there came the times they would do it all over again:
he was berserking,
she was secretly smirking
(but in the groaning voice of happiness, they were still pondering what love is)

The sound of kiss they made turned into Beethoven’s rhapsody,
but outside the window the black crow singing poignantly

They fell to the bed like there was no tomorrow,
but before the guy start drooling her a fireflies river
the girl said
she wanted to turn off the lamp and making sure
the door was shut

Kamis, 30 Oktober 2014

Pada Asap Rokok


Memujalah aku pada asap rokok
yang dihembus damai ke langitan

Malam, sebatang lagi saja
maka aku gila
seperti di puncak nikmat
tapi sunyi teramat

Bisa kaudengar suara khas ujung batangnya
ketika kuhisap lekat, api merambat menyulut
lembut seperti memagut (bibirnya, La Mer )
yang tak henti-hentinya kuumpamakan laut
sebab ia tenang, beriak kecil sesekali
tapi dalam
tapi tenggelam
Keenakan yang dilakukan sambil terpejam
dalam ramai pesta semesta
yang bahkan kami tidak diundang, lagi-lagi
berduaan asik kami nyanyi-nyanyi
lalu mabuk teler oleh perasaan sendiri
dalam ingkar yang setia pada janji-janji:
“aku bakal begini, begini, begini
 begini, dan begini.

atas nama malam kami bersumpah itu-ini
sedang esok pagi,
cinta tidak bermakna apa-apa lagi

lalu aku tersadar dari igauan
“ah, masih jam delapan.”
bau asap rokok menyepuh seisian ruangan

sementara aku memaksa satu batang lagi
agar kuhisap lebih damai
hingga api di ujungnya merambat
merayapi kekosongan yang tak mampu dinamai
(atau tak sudi kunamai!)
hingga membakarmu
hidup-hidup

“api di dalam tubuhku
tak lagi membakarmu?"
baru sekali hisap, aku mengigau lagi

Minggu, 26 Oktober 2014

Absurdity No. 7: The Idle

Di dalam bilik yang ia bangun dari kejenuhan akan kekosongannya sendiri, ia menanti tiada. Menerus ia busuk di sana bersama mimpi yang, katanya, kelak akan ia susun perlahan melalui gairahnya. Mimpi yang, katanya, sedari bocah ia tekadkan untuk tidak hanya sekadar angan yang numpang lewat di pekarangan rumah, atau angan yang jadi kembang dalam tidurnya; tetapi mimpi yang harusnya ia berikan nafas, ia berikan nyawa dan penghidupan yang layak hingga akhirnya menjadi mapan, menjadi tuan atas dirinya sendiri. Mimpi yang harusnya tak ia abaikan di laut lepas, tetapi diajak berlayarlah bersama ia mengarungi lautan lepas, hingga semakin dekatlah ia ke arah di mana mimpinya berpesta di pulau-pulau, sedang ia minum arak beria-ria di atas kebahagiaan atas keringatnya. Orang namakan bekerja keras itu sebagai melacur dengan hormat.

daripada meringkuk di kamar
lebih baik melacur ke luar
agar tahu kejam
agar tahu garam
maka mereka melacur... melacurlah
melacur dengan mimpi
menerjang badai waktu
di belantara lacur-lacur
yang lebih-lebih kuatnya


Sayangnya ia masih di situ, menanti tiada. Menerus busuk jadi babu atas ketidaktahuannya akan esok, atas kebutaarahannya akan lautan lepas, sebab mengemudikan tubuhnya kepada mimpi saja ia tak miliki kuasa. Di waktu yang sepanjang ini mestilah ia sudah melangkah jauh, bergandengan dengan mimpinya sambil menghadap langit senja kesukaannya (ah, lagi-lagi senja); yang nanti dapat ia nikmati sambil ngangkang atau rebahan, dengan satu kap kopi susu dingin dari kedai gengsian di seberang telaga itu.

telaga memisah kami utara selatan
si makmur jumpalitan
si biasa kelamaan tiduran
si makmur bisa makan
si biasa pun makan
bungkusan yang sedikit murahan

Oh, dewa. Betapa pengecutnya ia, penuh laga ia bersungut-sungut bermimpi, tetapi tidak mau nanggungjawab untuk mengejarnya sepenuh jiwa. Betapa angkuhnya ia, berani berkata bahwa mimpinya adalah gairah liar sejati yang ranum berkembangbiak di raganya dari musim ke musim, tetapi sungguh enggan untuk mengenalinya lebih dalam.

"... mata manusia
selalu menghadap keluar
tak satu pun yang sanggup
melihat ke dalam dirinya sendiri."
 (Yanusa Nugroho, dalam Boma)


Sayangnya, selain pengecut dan angkuh, ia pun tak punya malu. Bukannya siap-siap untuk bangkit dan mengenali mimpi sejatinya itu, ia malah bikin tulisan serupa ini. Tulisan yang isinya borok sendiri.

Selasa, 16 September 2014

Enggan

Disengajakan ia datang dalam tetiba
enggan pergi
Seolah mengemis tuk terus diimpi
meski ia sudah jadi impi sejak malam-malam lalu
sembunyi pada lemah lagu-lagu syahdu
jua rerinduan yang diucap malu-malu
atas ketidakacuhannya pada langit yang sengaja orang gambar
dari peluh kesabaran
dari isak penantian yang arahnya semrawutan
yang ujungnya tidak mengisyaratkan apa-apa
selain matanya yang tidak lagi menghidupi redup api
(tapi padam pun tak siap)
Iseng datang dalam tetiba lalu enggan pergi
Malah menjelma jadi impi yang tidak kenal maaf,
berani main-main di hidup orang


Selasa, 12 Agustus 2014

Langit Malam Setelah Kau Antar Aku Pulang

Belum pernah semasa hidupku bulan berkarib mesra dengan malam
yang kemarin kaku dan hampa makna
Sebab pujangga tak lagi kuasa
memberi makna pada bulan
meski ia memesonakan mata sejak kemarin petang

Lalu kau datang tidak bawa apa-apa
Entah sengaja atau lupa

Tanpa perlu melakon pujangga dengan berbait sajak di tangan,
dilecehkannya sang bulan sampai pucat pasi ia bermuka
kewalahan menahan malu

Bagaimana bulan tidak malu?
Sekata pun tidak kau berpuisi,
tapi pesona bulan tidak lagi bermakna
Atas kamu

Jumat, 11 Juli 2014

Hambar

malam setia dingin ketika perapian
kunyalakan besar-besaran di pojokan
rumah yang kusendiri iseng menanti
entah siapa
mungkin seorang di seberang laut
atau seorang yang kuumpamakan laut
tapi asinnya tidak kunjung pulang
sehingga hambar

begitu kuteguk pula hangat yang lupa pulang
kepada secangkir teh
dan malam-malam yang tidak lagi menjanjikan
rembulan perak di atap rumahmu
seolah menyuratkan rindu 
yang tidak berkabar apa-apa
selain gelisah yang arahnya buta

entah berbentuk apa lagi rindu
mana kutahu
rindu yang dulu sama-sama ditemukan
pada sepasang mata yang apinya nyala
namun kian menunggu padam
menuju hambar
menunggu modar



kecuali di mataku



Narasi Tentang Penyair yang Tak Pernah Pulang

Kawan, melupakah kau pada kebebasan yang asalnya ditulis dari puisi yang tintanya darah
dari jari penyair yang selaian piawai dipakai nulis
pun piawai nunjuk-nunjuk langit terik sampai jari telunjuknya burik
di baris depan sembari mulutnya busaan mekekik-mekik?
Menghardik kezaliman tirani
atas kesemena-menaan pada orang kecil macam kami
yang melulu mengumpat dalam sunyi, takut digebuki
takut disetrum sambil ditelanjangi

Tapi penyair itu membuat tirani pengecut, Kawan
Tirani sebegitu kejam takut pada puisi
merasa dipecundangi puisi-puisi dari penyair kerempeng,
berkaos oblongnya putih kumal,
ke mana-mana pakai sandal,
dengan satu mata lebam bekas dihantam anjing-anjing bersenjata

Diburulah ia ke ujung negeri,
bersembunyi dari pulau ke pulau, dari dusun ke dusun
Istri dan anak menanti dering telepon mengantarkan kabarnya
sekadar memastikan si penyair belum mampus dibedil
Dalam sembunyi ia tak nyerah bersajak mengenai kelaliman penguasa
dan anteknya yang sedang ongkang-ongkang kaki di istana
Sedang di luaran mukanya dipamerkan surat kabar sana-sini,
pun anjing-anjing bersenjata anak buah tirani
makin ganas mengendus jejaknya

Lama-lama  tirani gelisah bukan main
sebab hari ke hari puisinya mendobrak kami yang sedang melamun di bilik-bilik kamar
bangun dan melawan
meski satu-satu kawan hilang berjatuhan

Hingga tibalah hari raya kami saat tirani dirobohkan, Kawan
Kami kuat berbaris di jalan-jalan
tidak takut lagi digebuki atau disetrum sembari ditelanjangi
Persetanlah anjing-anjing bersenjata yang merobek barisan kami
Yang kami ingat hanya kata akhir dalam bait puisi si penyair;
Lawan!
Puisi penyair itu bergaung di setiap barisan
dipekikkan keras-keras melawan dentuman bedil yang berulang kali menembus dada
dan kepala kawan-kawan

Namun si penyair menghilang sejak itu
Tak kembali pulang hingga begini waktu
Kabar kemenangan boro-boro tahu
Mungkin  kena bedil atau dibikin-bikin hilang, toh siapa tahu?

Sedang istri  dan anaknya menaruh harap ketinggian
pada ombak yang berjanji pulang kepada pantai,
mengisahkan penyair yang hilang tanpa meninggalkan bangkai
Hanya meninggalkan  puisi yang bersaksi atas tirani yang pernah
tak berkesudahan memenjarakan kami dalam bungkam sunyi

Sementara teleivisi menyiarkan tokoh-tokoh kesohor negeri asuhan tirani
ngomong-ngomong hak asasi
sambil minum kopi





untuk Wiji

Minggu, 08 Juni 2014

Langit Senja yang Ketinggian

baru saja aku panjat langit
senja tadi
tetap emas. walau aku dihakim gila oleh orang-orang
emas sebelah mananya?

oleh orang-orang aku dihardik genit panjat-panjat senja
dicemooh sampai mulut busaan. katanya aku
ketinggian.
dinasehati kawan-kawan bijak, katanya,
kalau-kalau kepeleset dikit
jatuh ke tanah sakitnya lumayan parah
bikin pincang bisa jadi.
tapi, ah, kepalang sudah

sialnya senja malah makin emas. Kemilau yang
tidak hilang walau dimakan rakus malam
makin sini senja itu kelewatan abadi, 
menawan setengah modar, manggil-manggil penuh goda
awas, bahaya! kudengar sorakan orang-orang
aku mana ambil perduli
sejak kapan senja bikin bahaya orang
apalagi warnanya emas

malah dihakim gilalah aku tambah-tambah
oleh orang-orang

"turun dari situ! turun!"
dari bawah kudengar mereka
teriak-teriak


Sabtu, 31 Mei 2014

Senja Bagian Dua

Aku menaruh harap ketinggian
Pada senja yang tahu-tahu
diculik malam
Sempat aku sok jago mau nyulik balik
Tidak bisa. Harus nunggu esok
Tapi esok tak bisa janji ada lelaki
yang bercelana pendek.
Merokok dan menghembuskan asapnya(sebatang Avolution yang kurus mungil di dalam tangan lembutnya)
hingga membaur intim dengan kilau langitan jingga
Sembari menerawang ke ufuk telanjang mata
Hanyut kesasar ia di sana
Seolah kehidupannya bergulir seksama
di bola mentari jingga itu
Mengikhlas diri hanyut sampai mabuk
sebelum gelap menggagahi jingga
-- tanpa tahu bahwa perhelatan senja itu
padahal abadi di matanya. Setiap hari


Sayang dia enggan berbagi senja
sekalinya berbagi, ia sukarela
bagi ke banyak mata
Tanpa tahu bahwa cuma aku yang
mati-matian menculik balik senja dari malam
yang kalau ngamuk tidak kasih ampun
sementara si senja itu anteng main-main
di matanya. Bukan diculik sesiapa

Jumat, 18 April 2014

Sukurin

tuh kan, rasain
apa kubilang

mereka nyerah
mereka bilang terserah
soalnya kau tolol tak mau ngalah
pada apa yang salah

dableg susah dibilang
dada ditata tapi kepala ditaruh di selangkang
jadi jangan marah kalau mereka sukur-sukurin kau
makan tuh

nah loh nah loh
anak orang ditangisin

(Sengaja) Tidak Bisa Bangun Dari Mimpi

Bangun. Sudah siang
Sudah kesiangan, bahkan
mimpi panjang tiada kesudahan

kamulah pegang kuasa mimpimu sendiri
yang bisa sudahi ini mimpi dengan melek
tapi kamu melulu menolak melek
melupa akan mana nyata dan mana mimpi
asyik sendiri
nikmati panorama alam mimpi sambil neguk teh atau kopi.
asyik sendiri
khidmati mimpi sambil lari-lari, nyanyi-nyanyi. Sepenuh hati
Yailah, mati

Berrmalam-malam kamu bermimpi
tanpa mengiba pada diri
yang sudah keenakan melesat menjauhi apa yang nyata
pura-pura lupa cara buka mata
Pura-pura nyenyak
Boro-boro nyenyak. Gelisah sebadan-badan yang ada
tapi keasyikanlah kamu melebur mimpi ke dalam nyata
keasyikan main terbang-terbangan tanpa lihat ke bawah
keasyikan main kejar-kejaran tanpa lihat ke belakang
Yailah, bunuh diri

sudah disentak berkali-kali. Bangun
waktumu bermimpi sudah habis dari kapan tahu
tapi kamu lagi-lagi sengaja pikun
sengaja melengos ketika semua yang di antaramu berbaik hati untuk membangunkan
bahkan senja kesukaanmu datang ke langit,
lalu masuk lewat jendela kamarmu. menyibak kilaunya yang jingga emas
menggodamu mesra
Tapi kelihatan jelek si senja itu sehingga menampiklah kamu untuk terjaga
yang di mimpi lebih bagus, gumammu sambil tidur

Siapa punya digdaya untuk menarikmu ke dalam kenyataaan? Tidak ada
Namun siapalah yang tega membiarkanmu keenakan ngimpi
selamanya ngimpi
Tua di mimpi. Dirayu-rayu mimpi
Dibuai-buai mimpi
Dimain-mainkan mimpi. Ditimang-timang mimpi
Dielus-elus mimpi
Dipuaskan mimpi. Diperkosa mimpi
Ditikam mimpi
Tuh kan! Tuh kan!
Sukurin

Senja yang bagus ya, Sayangku
Kamu mengigau dalam tidur

Rabu, 16 April 2014

Bulan Si Pecundang

Tidak pernah malam memecundangi saya sehina ini
Bahkan udara dinginnya mencemooh diri hingga
menggigil dan meringkuk dalam kosong. Sekosong langit di atas kepala
Bulan yang katanya bulat telanjang di tubuh langit sana, yang besarnya tidak bisa
dikira-kira, turun ke daratan malam ini. Tepat ketika saya
sedang mencemong-cemongi muka sendiri dengan senyum yang sudah koyak
sementara si bulan itu semena-mena turun dan main hinggap saja di bahu
dipikul saya ke sana ke mari sesuai perintah waktu
yang terus bergulir tak mau kenal ampun
Tidak boleh takut. Sebab takut hanya milik bocah-bocah
Tidak boleh salah. Sebab salah artinya
pecundang.
Makin pecundang.
Makin berjarak dengan menang
Makin berat si bulan di pundak, sebab membesarlah ia kini
menjadi sangat besar sebesar kepengecutan diri sendiri
Sebesar kekalahan diri sendiri

Rabu, 09 April 2014

Mediocrity

Kependekan diomong dangkal
Kepanjangan diomong basabasi
Kedikitan diomong miskin
Kebanyakan diomong maruk
Kemudaan diomong sotoy
Ketuaan diomong kuno
Kebebasan diomong liar
Keterbatasan diomong penjara
Kebaikan diomong ngejilat
Kejahatan diomong haram jadah
Kegenitan diomong pecun
Keluguan diomong sok bersih
Keaslian diomong palsu
Kepalsuan disumpahserapahi
Kebencian diomong tercela
Kecintaan diomong nafsuan
Kepintaran diomong hoki
Kebodohan diinjak-injak
Kesiangan diamuk-amuk
Kepagian diejek-ejek
Ketulusan disuudzoni
Keterpaksaan diomong tega

Kekurangan diomong kurang pula. Sekalinya kelebihan,
eh berlebihan.
Sekalinya di tengah-tengah, eh
masih kurang, toh



Kepada Bung

Bung, hampir saya lupa warna langit. Untunglah kau paksa saya ke luar rumah
hari itu.
Kelampau lama saya meringkuk kusam di dalam bilik menunggu mampus
sebab orang boleh ngomong warna langit,
namun tiada pernah saya naruh percaya sedikit
kapok dicundangi

Terima kasih sudah sedia ajak saya mengenal lelangitan, berikut warnanya yang
kebiruan, keemasan, keperakan, kadang kemerahan,
kadang warnanya menyerupai mimpi, Bung
Persis Bung.

Tetapi, Bung, jika suatu hari saya kembali melupa akan warna langit,
tak usahlah Bung ingatkan saya lagi.

Sabtu, 05 April 2014

Gerbong

Pada gerbong tidak ada isyaratmu yang sia-sia. Malam itu
tak ada kata yang betah bermalam di kepala meski tanpa diucap
semua menyeruak dalam diam seperti berdoa. Pertapaan ritual malam
dalam kepulangan ke rumah dari kampus perjuangan

Pemandangan malam tak mesti kaulekati dari balik jendela sebab kacanya terlalu pekat hingga membayang rupa badan sendiri, berikut lusuh muka sendiri
namun pada gerbong di malam hari bukan pohonan, bangunan, maupun rerumahan yang
harus direnungi. melainkan apa-apa yang tidak kelihatan di hari ini
bukan lingkar rutinitas yang rapi distruktur jadwal, melainkan apa-apa yang maya
yang rupa dan segala detilnya hanya bisa didikte dua: dada dan kepala.
— dada yang mengalahkan kepala, lebih tepatnya.
Amuk hati yang dipaksa jinak. Keluh yang ditahan mundur. Tangis yang mengintip malu-malu dari ujung ekor mata. Atau mengenai logika yang disunat oleh hati yang cengeng tetapi sadis,
sebab hati selalu membuat pincang otak kita sehingga kita rela berlemah-lemah menerima
apa yang seharusnya tak kita berhak.

Dalam gerbong di malam itu, pikiran melulu soal sedih-sedihan. Soal sesal-sesalan.
Kecamuk perasaan yang lajunya sekuat laju kereta yang menggesek berdecitan dengan rel,
pun tidak berangsur lemah serupa kereta yang mengerem perlahan sebelum berhenti di stasiun.
Orang-orang turun digantikan orang naik, namun kamu tidak peduli adakah diantara mereka yang
mencolok perhatianmu.
Sebab mereka bisa jadi sebangsamu; bertapa dalam gerbong. Berdoa pada gerbong.
Sembahyang dalam gerbong. Tidak mau diusik.

Gerbong di malam hari menjelma jadi kotak kontemplasi, dilatari desing suara kereta,
dibekukan pendingin udara, dihempas oleh rem mendadak masinis,
dibuai kantuk ketika kebagian tempat duduk
terlepas dari kebagian duduk atau berdiri, apalah yang kuasa mengusik apa yang terjadi di dalam?
Dada dan kepala — dada yang mengalahkan kepala, lebih tepatnya,
tidak pernah seganas ini pada gerbong di malam hari.

Kamis, 03 April 2014

Nak

nak sudah dinasihati dari mula, jangan coba-coba main yang begitu. nak kalau mau main yang dekat-dekat saja, yang aman-aman saja. daripada nanti nak makan daging sendiri. nak sudah janji waktu itu nak tak mau kelamaan main jauh dari rumah nak. nak janji akan pulang tepat waktu ke rumah walaupun nak sudah kelamaan main di sana.
tapi nak sekarang bukan hanya kelamaan main, tetapi nak sudah kelewatan main. nak sudah keenakan. nak sudah keranjingan. nak sudah kecandu secandu-candunya candu.
nak sudahlah pulang nak, mengibalah kepada nak. nak jangan pura-pura lupa apa yang sudah menimpa nak pada saat itu. nak dikoyak-koyak dagingnya. nak dikunyah-kunyah akal sehatnya. nak dibanting ke tanah sehingga megaduh keluh luka-luka, lebam-lebam, tetapi laki kesukaan nak ternyata hatinya sesampai itu. sekarang nak mau balik lagi mencari kematisurian? nak mau menjelalajah balik ke waktu di mana nak pernah mabuk sempoyongan dan mencoba mengelabui waktu ajal? nak mau telanjang-telanjangan hatinya sementara kepala nak dilempari bebatuan oleh logika nak sendiri? nak hendak setega itu kepada nak yang jalan hidupnya masih disimpan Yang Esa di balik gumpal awan di mana nak baru saja meniti tangga baru untuk memanjat sampai ke langitnya?

nak boleh jatuh cinta. siapa yang punya digdaya untuk larang? jancuk kalau ada yang larang nak jatuh cinta. jatuh cinta itu asyik, seasyik nak yang kalau lagi membayangkan bisa jalan berdua sepanjang hari dengan laki yang nak impikan. nak menyebut ia sebagai mimpi, kan? nak menyebut laki itu mimpi yang tak pernah tidur, kan? mimpi yang benar-benar mampu dirasa tanpa harus tidur. mimpi yang rasanya kemimpian tetapi sebenarnya nak sedang sadar di kenyataan. nak menyebut ia laki yang lengkap sesuai apa yang nak citakan dari dulu, bahkan melampaui apa yang nak pernah mau. nak jatuh cinta, nak. nak masih saja coba-coba mengelak, padahal nak sudah menelanjangi diri nak di hadapan semua orang hingga nak tidak bisa lagi sembunyi dari perasaan nak sendiri. kemudian nak berkata, "sumpah, saya tidak pakai hati. saya tidak siap mati lagi. saya sudah mati kemarin. masa iya saya mau cari maut lagi?" klasik, nak. tahi babi!. kemudian nak berkilah lagi, "sungguh saya tidak cinta. saya sama sekali tidak cinta!"
persetan!

seperti yang saya bilang tadi, nak boleh jatuh cinta. tapi jangan kepeleset jatuh sedalam ini, nak. belum, nak. belum saatnya. santai saja dulu, nak. jangan main-main yang bahaya, nak. nak masih sakit. nak masih rentan untuk jatuh ke pesakitan lagi. nak baru saja cuci luka. lukanya belum kering, nak. jangan main terlalu keras lagi, nak. santai. biarlah perasaan nak mengalir tanpa harus didorong oleh kebutaan hati nak sendiri. sebab jika memang si laki itu jatuh cinta, pasti ia nanti akan jatuh cinta juga. tanpa dipaksa. tanpa diberi alasan. maka dari itu, pulanglah ke rumah, nak. sebab suatu hari nak akan menyesal tidak matuhi saya, atau mungkin nak berterima kasih karena sudah matuhi saya.

sebab, nak, 
ketika nak nanti mati lagi, yang salah bukan laki itu. tapi nak.

Minggu, 09 Maret 2014

Kereta

Keretamu sudah kasatmata di ujung rel tetapi saya pura-pura tidak tahu
Lagipula saya tidak mau tahu. Sialnya keretamu makin mendekati peron
di mana kita masih menggeluti keberduaan hingga malam larut.

Sempat saya coba pura-pura tuli tetapi kereta itu kini menderu berdesing makin keras
padahal masih kami lekati bola mata masing-masing. Padahal masih kami malu-malu bertukar rindu.
Sebab sukar jika rindu hanya dituntaskan dalam rangkuman waktu yang satu kali kedip. Memangnya
esok hari kita masih bisa melunasi rindu?
Sedangkan hidup saya lebih semarak sebelum kereta itu main seenaknya menjemputmu,
dan kamu bakal lenyap menyublim dengan udara malam di ujung rel sana.
Tak ada yang tahu apakah
esok saya yang mengantarmu lagi ke peron ini, atau kamu bakal menjelma persis kereta,
yang mampirnya cuma sejenak dan berangkat dengan cepat sebegitu saja
Ah, saya tak mau ambil perduli

Keretamu tiba di depan kepala kita beberapa sekon lagi. Satu dua tiga empat lima enam tujuh
delapan sembi- Nah, persetan!
Sempat kukutuk waktu saat itu juga agar berhenti berapa jenak, tetapi siapalah punya daya.
Waktu — pun mungkin kereta, hanya mampu diberhentikan Tuhan.





Hati-hati.

Rokok dan Tuan yang Merokok

Saya terlalu hafal bagaimana kamu menghisap rokok
lekat-lekat. 
bahkan kelewat lekat sampai saya masuk ke dalam

sebab saya mau jadi asap yang berlalu di kerongkonganmu, hingga akhirnya
melesat ke dalam ragamu, tetapi tidak menjadi racun. Justru
menjadi antidote yang paling membahagiakan sepanjang malam
sekepulanganmu dari lingkar kerutinan yang melelahkan.
Saya mau membebaskan ketidakbisaanmu mengeja keceriaan ketika bosan. Saya mau mencairkan
nafsu murkamu yang bikin pikiranmu sesak. Saya mau membunuh kebuntuanmu pada
keletihan yang tidak bisa digambarkan aksara.

sebab kamu menghisap rokokmu dengan nikmat. Setubuh-tubuh saya masuk terhisap
ke dalam. Ingin serupa candu dalam setiap batangnya.
Dengan khusyuk. Seperti meramu ajian mantra-mantra untuk dewa. Seperti bertirakat di altar.
Seperti mengucap ayat-ayat yang sakral. 
Ujung rokok itu menyala mengeluarkan api-api yang semakin merekah nyala 
seperti mega-mega panas ketika kamu menghisapnya dengan khidmat. Alamak. 
Kemudian kamu menghembuskan asapnya seperti sihir. Seperti simsalabim. Seperti amin.
Semua keletihanmu, pesakitanmu, kekosonganmu, dan ketidakberdayaanmu untuk meluapkan amuk,
menjadi penglepasan yang paling berkelas. Menjadi pemuasan yang paling puncak.

Sedang asap itu mengepul bersenyawa dengan udara di langit-langit. Berterbangan dengan lembut,
menyerupai gumpal awan yang berkejaran pelan-pelan kemudian menipis dan menghilang.
Saya tahu betul kamu merasa kehilangan ketika asap itu pergi. Lalu kamu menghisap rokok lagi.
Dan lagi.

Tidak pernah dalam hidup, saya merasa kemimpi-mimpian melihat orang merokok.
Seharusnya merokok dilakukan dengan wajar dan normal sajalah
tidak sampai membuat saya ingin serupa rokok, dasar kamu!



Sabtu, 01 Maret 2014

Kepada Lelaki yang Banyak Digemari

Boleh dibilang ini surat dari penyuka rahasia. Adakah orang-orang di sana menyebut dengan istilah serupa?

Bahkan saya melemparkan banyak tetanya kepada diri sendiri; menghardik sampai gemas ketika menyadari betapa beraninya saya menuliskan ini untuk kamu. Jangankan menulis, memulainya pun saya tidak kepikiran sebelumnya. Jangankan kepikiran untuk menulis, membayangkan kamu akan membacanya suatu hari saja membuat saya bergidik ngeri. Adakah misalnya saya dituduh gila yang kedua kali?

Kamu boleh omong saya gila, sebab ketika saya menekan tuts kibor hingga sampai pada kalimat ini, saya pun nyadar betapa gilanya saya. Sekali lagi melempar tetanya pada diri, hal bodoh yang mana lagi yang telah saya lakukan? Tetapi kamu jangan salah sangka dulu. Saya menulis ini tanpa maksud apa-apa, terlewat murni tanpa maksud apa-apa. Saya hanya merasa bahwa ada lebih dari lima ratus butir kata yang dari kemarin-kemarin sudah sembarangan menggelitik kerongkongan saya. Saya pernah bilang, gatal rasanya. Gatal. Sudah saya garuk ulang-ulang tetapi makin-makinlah gatal.

Izinkan saya mulai berkata-kata tentang perasaan yang suka jahil mengganggu saya tanpa kenal waktu, mau siang mau malam. usil Di sisi lain saya tahu betul bahwa terkadang kata-kata hanya menghancurkan semuanya. Maka dari itu, ketika kamu selesai membaca ini, saya dapat nerima apa pun bentuk risikonya. Kamu boleh sebal. kamu dipersilakan jijik. Kamu dipersilakan pura-pura lupa kita pernah kenalan. Tetapi ingat, kamu, jangan pernah salahi saya ketika saya punya rasa. Memang ini salah saya,  tetapi Kamu pun turut serta, bukan? Namun, beribu sungguh, saya tidak mengharapkan apa-apa dari Kamu. Sedikit pun saya berani janji, tidak. Murni. Kamu bisa bedil kepala saya kalau dirasa itu perlu.

Tetapi ternyata kamu salah. Saya tidak gila. Justru ketika menulis ini saya yakin betul bahwa saya sedang waras-warasnya.

Terima kasih telah menjadi hangat dalam secangkir teh saya. Terima kasih sudah jadi penghibur yang menenangkan. Senja jadi muram ketika kamu datang. Rembulan pucat pasi ketika kamu senyum. Bukan hal ajaib lagi ketika banyak kawan nyaman berada dekatmu berlama-lama, terutama perempuan. Biarkanlah saya beranalogi kecil-kecilan mengenai betapa nyamannya saya di dekat kamu. Kamu itu candu. Suaramu, matamu, tertawamu, kelakar dan jenakamu, ramahmu, amarahmu, hingga kulitmu yang mungkin tidak sengaja menyentuh kulit saya...Walaaah... Sungguh saya nyerah untuk lanjut menuliskan. Saya tidak berani membayangkan betapa banyaknya hal-hal yang membuat banyak orang lain, terutama perempuan, rela untuk berada di dekatmu. Membayangkannya saja saya tidak berani. Begitu indah. Sampai-sampai dari tadi senja mencak-mencak karena cemburu. Ia marah karena ada yang mampu menandingi keelokannya.

Bahkan ketika saya sedang berdua saja denganmu, waktu berhenti berputar. Saya yakin betul adanya. Saya sempat tengok arloji saya waktu itu, dan benar adanya bahwa waktu membeku. Saya pun jadi buta waktu. Kemudian, setiap milisekon pun benar-benar saya resapi dengan sepenuh daya. Tidak boleh ada remah waktu yang tersisa. Sayangnya, ketika waktu kembali pulang kepada arloji kita masing-masing, semua terasa berlalu begitu cepat. Sesal datang seenaknya, seraya bicara: mengapa waktu berharga berdua tadi tidak saya manfaat dengan sebaik-baiknya? Padahal, betapa waktu benar-benar statis pada saat itu. Lalu saya mengutuksumpahi diri sendiri, seakan-akan punya hutang. Seakan berkata: mengapa saya membuat semuanya terasa singkat?

Saya yakin perempuan-perempuan di luar sana satu pikir dengan saya mengenai ini. Saya berani taruhan.
Dan saya memang begini adanya. Saya tahu diri dan tahu tempat. Oleh karena itu, daritadi saya beraksentuasi bahwa saya tidak ada maksud apa-apa. Mengetahui bahwa kamu membacanya sudah terlalu melewati kecukupan saya. Terima kasih, Tuan. Dengan menulis ini, saya berani jamin bahwa tidak ada keterlibatan hati di sini. Dalam hal seperti ini, menggunakan hati artinya bersiap untuk mati. Saya tidak terlalu bodoh untuk menggunakan hati saya lagi, atau untuk mati yang kedua kalinya. Jadi, saya menulis ini dimaksudkan untuk berterima kasih karena kamu sudah jadi telaga yang menyegarkan padang dahaga di dalam sini.


Saya merasa bodoh menulis ini. Sekadar dua halaman tetapi sudah bikin saya kelimpungan setengah modar. Anggap saja hanya remeh-temeh atau basa-basi belaka, karena memang adanya begitu. Sebab kereongkongan ini sudah tidak begitu gatal. Kata-kata sudah mencuat berhambur-hamburan di atas kertas. Nyaman. Walau ada juga sedikit rasa sesal mengapa saya harus menulis ini. Jujur, saya sering malu dengan ketidakbisaan saya mengolah perasaan ke dalam kata-kata. Sebab perasaan macam ini harusnya didiamkan saja. Sebab kata-kata seringkali hanya menghancurkannya.

Kamis, 23 Januari 2014

Tuntutan untuk Tuan

Saya dengar Tuan jemu dipuja-puji saya melulu
Jangan begitu, Tuan. Tidak pantas Tuan begitu
Coba sesekali Tuan jadi serupa saya. Sesekali saja
Agar Tuan melek juga betapa saya merasa kemimpi-mimpian saat mandang Tuan

Saya dengar Tuan ngeluh dipuja-puji saya melulu
Jangan begitu, Tuan. Tidak punya hak Tuan begitu
Coba sesekali  Tuan menjelma saya. Satu malam saja
Agar Tuan sadar juga betapa saya tidak punya kendali apa-apa saat Tuan main hadir di depan mata
mata itu Tuan, kalau Tuan belum tahu, selalu membuat saya hina ketika Tuan mandang saya
Saya bilang, sudahi dulu pandang-pandangannya.
Tuan sudah kelewatan.

Adakah Tuan tidak malu saat ditanya,
mengapa sang rembulan bulat keperakan yang memegahi malam itu sudi untuk bersanding dengan gumpalan awan hitam yang tidak pernah disambut kedatangannya?




Jumat, 17 Januari 2014

Ia Datang Kala Hujan


Ia datang seenaknya ketika hujan. Tidak pernah meminta maaf ketika ia
sembarangan main hapus bekas langkah kaki saya yang sudah berjalan jauh
meninggalkan tubuhnya. Dan saya meniti lagi dari mula.

Ia datang seenaknya ketika hujan. Dengan tidak tahu diri ia kembali menghidupkan rasa lapar kami akan kenangan masa itu, dan menyeruakkan aroma kesukaan kami setelahnya
Tapi hilang lagi. Tapi nanti datang lagi
Begitu terus hingga ujungnya mati

Ia datang sembarangan kala hujan
Sambil membawa batu-batu es lalu berkata,
“coba tebak, ini hujan yang dibekukan atau airmata yang dibekukan?”


Kalau kata Anda?



Pahlawan Kami


PAHLAWAN KAMI

“Pagi ini televisi menyiarkan iklan kesukaan kami lagi. Mengenai pahlawan-pahwalan kami yang dipercayai dapat menyelamatkan kami dari perut lapar, menyuplai beras dan kebutuhan kami lainnya cuma-cuma. Tidak lupa juga pahlawan-pahlawan kami bakal membayar uang untuk susu-susu para bayi kurus di kampung sini, membebaskan uang sekolah, membeli sepatu dan seragam baru untuk si Budi, membangunkan rumah-rumah dan sekolah-sekolah yang lebih bagus pula. Oh ya, saya pun masih ingat, mereka bahkan berniat mensejahterakan petani. Ayah saya petani, kebetulan.

Sudah, jangan berburuk sangka dulu kepada pahlawan-pahwalan kami. Mereka orangnya baik, jujur, dermawan, pasti mau turun berbaur dengan para warga di kampung kami, dan bersenda gurau dengan kami sambil minum kopi hitam. Sudah lama kami merindukan orang seperti itu.

Tidak. Mereka tidak akan korupsi. Mereka bilang begitu. Mereka bukan orang picik. Kalian saja mungkin yang kerjaannya suudzon melulu. Tentu kami yakin. Begitu yang mereka lakukan di acara televisi setiap pagi. Bukan hanya pagi. Siang sore malam juga. Ya, mereka berbicara di atas panggung. Di hadapan orang-orang macam kami dan senasib pula dengan kami. Saya tahu merekalah jawaban yang dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkan kami. Merekalah pahlawan kami.
Setidaknya itu yang kami lihat di televisi. Diatayangkan setiap hari. Di sela-sela acara sinetron, acara komedi, dan acara musik favorit kami. Pagi siang sore malam.”





Jumat, 03 Januari 2014

Senja yang Marah


Hari ini senja datang kepada saya sambil marah-marah. Matanya melotot. Bukan hanya menyiratkan rasa sebal yang minta ampun, tetapi juga kekecewaan. Ia menubruk langit di atas atap rumah saya tiba-tiba tanpa permisi, padahal masih pukul satu siang pada saat itu. Alhasil, hanya langit bagian rumah saya saja yang berlatar senja, lengkap dengan bola matahri jingga dan langit keemasan yang teduh. Di langit bagian luar rumah saya, hari masih terik dengan sinar matahari yang panas. Saya terkejut dengan tingkah seenaknya yang dilakukan oleh senja siang ini. Kalau saja dilihat orang, bisa-bisa rumah saya dikerumuni oleh orang-orang yang ingin menyaksikan fenomena hamparan senja di tengah siang bolong ini.

“Sudah, deh, jangan cari sensasi. Bisa-bisa halaman rumah saya penuh dengan orang-orang yang foto-foto.” Ia tidak menghiraukan kata-kata saya. Senyumnya masam.

“Kamu sudah menyalahi hukum ilmu alam. Ini masih siang. Pulanglah dulu,” kata saya lagi. Gawat, matanya melotot kembali. Lebih-lebih.

“Sopan sekali menyuruh saya pulang! Memangnya kalau saya pulang kamu bakal menemui saya?” Ia makin geram. Bahkan, ia melemparkan percikan cahaya mataharinya yang jingga keemasan. Percikan itu hangat menampar muka saya. Ia mulai main kasar, tetapi saya tidak membalas apa-apa.

Memang, sudah beberapa bulan ini saya tidak lagi mengunjungi langit senja. Bukan berarti saya di rumah terus ketika senja tiba. Hanya saja, hujan sering turun pada waktu senja tiba sehingga saya tidak dapat keluar rumah untuk bertamu kepada senja. Namun, ia tidak menerima alasan itu. Basi. Sekarang, kan, sedang musim kering. Hujan datang kadang-kadang saja saat senja. Ya, alibi saya sudah dipatahkan oleh senja itu. Ini memang musim kering, sudah beberapa minggu hujan hanya jatuh beberapa hari dalam semingu, itu pun tidak terlalu deras. Saya terlalu bodoh untuk mengeluarkan alasan itu.

“Ke mana saja kamu?” Senja itu setengah berteriak. Perangainya memang jadi keras. Saya bisa memakluminya karena memang saya tahu ia sedang merindu saya, tetapi tidak saya katakan karena pasti ia akan mengelak. Saya mengerti betul seseorang dapat berperangai di luar kendali ketika ia sedang merindu seseorang tetapi tak mampu bertemu satu sama lain. Meskipun ia bukan dikategorikan sebagai orang, tetapi kurang lebih sama rasanya.

Saya tetap diam tidak menjawab sebelum akhirnya ia kembali bertanya yang sama. ‘Ke mana saja kamu? Jawab!”

“Saya tidak ke mana-mana. Dengar, bukankah saya sering keluar rumah pada saat senja?”

“Bukan itu pertemuan saya inginkan!” kata senja.

Ya, memang bukan itulah yang dimaksud sebuah “pertemuan” olehnya. Bukan sekadar saya jalan-jalan ke luar rumah pada saat senja. Bukan sekadar ia hanya bisa melihat saya dari atas sebagai bagian dari hukum semesta: di atas bumi manusia ada hamparan langit. Tetapi, lebih dari itu. Biasanya sayalah yang sering mengunjunginya untuk menikmatinya secara detil, entah melalui jendela kamar saya, duduk di hamparan rumput, atau kadang naik ke lantai koridor kelas kampus saya yang paling atas demi dapat melihat senja secara jelas. Di sanalah akhirnya saya bisa menikmati setiap detilnya.

Belum saya jelaskan pada kalian betapa saya menyukai senja. Entah mengapa ketika melihat senja tidak ada lagi benda-benda yang dapat menandingi keindahannya. Pada waktu itu saya memang sering mengunjungi senja, bukan hanya untuk menunaikan hukum semesta bahwa dengan menengadah ke atas maka saya akan melihat langit, tetapi lebih dari itu. Saya meresapi keindahannya dari bagian ke bagian hampir setiap ujung hari. Langitnya yang jingga keemasan, bola mataharinya yang jingga semburat, pancaran sinar matahari yang satu tubuh dengan warna perpaduan langit yang dilukis Tuhan sambil tersenyum, mega-mega yang disemburkan langit serupa jingga keperak-perakan, kadang merah kejingga-jinggaan, atau biru keemas-emasan. Aaaaah... Betapa saya tidak dapat melanjutkan. Bahkan, ketika hari harus diganti dengan petang, senja memberi kesan yang menyiratkan bahwa kepergian terang bukan berarti sebuah ancaman. Betapa senja diciptakan untuk menaganlogikan berbagai keindahan-keindahan yang lainnya. Belum lagi, saya menyukai puisi. Menyukai senja dan puisi. Puisi dan senja bisa jadi satu paket senyawa yang luar biasa indahnya, kalau-kalau kalihan belum tahu.

Saya pernah berkata langsung kepada senja bahwa saya menyukainya. Pipinya sedikit berubah warna menjadi kemerahan. Ia bilang saya gombal dan sedang merayu. Mungkin saya sudah kelewatan. Hubungan saya dan senja hanya sebatas hubungan antara manusia sebagai pengagum karya Tuhannya yang bernilai estetis tinggi. Namun, sepertinya senja menanggap hubungan kami lebih dari itu.

Pernah beberapa kali ia memberikan bonus kepada saya ketika saya sedang memandanginya dari balkon rumah saya. Ia menambahkan keajaiban pada dirinya pada saat itu. Langit senja yang terhampar pada saat-saat itu merupakan perhelatan langit paling indah yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya yang dapat saya ceritakan kelak kepada anak cucu saya. Bukan hanya hamparan langit jingga dengan bola matahari keemas-emasan, ataupun pancaran mega-mega yang warnanya rupa-rupa. Saya melihat ada cahaya yang tepercik dengan letusan kecil, seperti kembang api yang bermekaran meletup-letup berkali-kali hingga percikannya menetes di kepala saya. Ada pula air terjun jingga keemasan yang mengalir dari awan-awan, dan air jingga keemasan itu mengalir membentuk gelombang-gelombang mungil seperti apa yang saya lihat di bibir pantai. Langit menjadi lautan cahaya senja. Saya kira saya sedang di langit surga saat itu. Tetapi, keajaiban itu tidak lagi terjadi semenjak saya memutuskan untuk tidak lagi mengunjungi senja.

“Ingat apa yang kamu katakan dulu? ‘Langitnya yang jingga keemasan, bola mataharinya yang jingga semburat, pancaran sinar matahari yang satu tubuh dengan warna perpaduan langit yang dilukis Tuhan sambil tersenyum, mega-mega yang disemburkan langit serupa jingga keperak-perakan, kadang merah kejingga-jinggaan, atau biru keemas-emasan. Aaaaah... Betapa saya tidak dapat melanjutkan.’” Senja mengatakannya dengan nada yang nyinyir, persis seperti apa yang pernah saya katakan saat itu dengan gaya puitis yang juga barusan ia peragakan sama persis. Saya tahu sedang bulat-bulat disindir, tetapi sekali lagi, saya memaklumi sikapnya. Saya tidak melawan. Terlebih lagi, ia menambahkan, “Nona genit yang mana yang merayunya seperti barusan?” Saya tetap diam.

“Kamu tidak akan pernah mengerti penjelasan saya.” Hanya itu tanggapan saya.

“Kamu menjelaskan saja belum,” balasnya.

“Kamu tidak bakalan ngerti. Percuma kamu datang ke sini.”

Sebelum kedatangannya hari ini, ia pernah mengunjungi saya beberapa minggu yang lalu persis seperti kemarin. Ia menentang hukum ilmu alam, datang pada saat siang bolong, menyebabkan hanya hamparan langit di rumah saya saja yang latarnya senja. Saat itu saya sedang tidak ada di rumah. Ia menunggu saya sampai malam. Saya kaget ketika saya pulang ke rumah, halaman rumah saya ramai oleh kerumunan orang-orang yang menonton langit senja di rumah saya. Tentunya fenomena ini merupakan fenomena yang langka. Senja di tengah langit malam. Kapan lagi, toh? Orang-orang itu berkumpul menyesaki halaman rumah saya. Mereka terdiri dari berbagai kalangan dan usia. Dari mulai keluarga hingga pasangan kencan. Anak-anak sampai lansia. Gelandangan sampai pejabat. Bahkan, wartawan-wartawan pers pun hadir untuk meliput fenomena langka ini. Beberapa dari mereka langsung menyerbu saya dengan pertanyaan.

“Nona, bisa Anda jelaskan bagaimana langit senja ini dapat terlihat hanya di bagian langit rumah Anda?”

“Mengapa di rumah Anda bisa ada senja sementara langit harusnya gelap gulita?”

“Apa Anda ini tukang sihir atau orang bisa?”

Saya, yang juga sama terkejutnya dengan fenomena yang baru saya lihat seumur-umur ini, tidak mampu menjelaskan apapun dengan penjelasan yang kuat dan rasional. Hanya satu kalimat yang saya katakan kepada para wartawan itu,”Tanya saja sama yang itu.”sambil menoleh mata senja. Kemudian, saya melengang masuk rumah begitu saja tanpa menyapa senja itu dengan sapaan yang hangat dan bersahabat. Saya sedang lelah, tetapi ia tidak mengerti. Saya tahu betul ia sedang mencoba menggoda saya, tetapi senja itu tidak akan pernah tahu kalau saya bukanlah lelaki yang gampang digoda. Tidak untuk kali ini. Tidak akan pernah.

Saya masuk ke kamar dan tetap bersikap cuek dengan apa yang  terjadi di luar jendela. Orang-orang masih sibuk mengabadikan peristiwa aneh bin nyata ini di pekarangan rumah saya. Tetapi, bukan itu yang senja harapkan. Senja hadir memecah langit di malam hari bukan untuk mencari sensasi. Ia tahu bahwa ia telah gagal untuk menggoda saya, sayangnya ia tetap berusaha mencari cara lain yang menggoda saya setengah mampus.

Ia menggoda saya dengan sangat indah pada malam itu, lagi-lagi dengan letup-letupan kembang api keemasan yang berpijar kelap-kelip, air terjun yang mengalir dari gumpalan awan yang aliran airnya menggenang menjadi laut jingga emas dengan gelombang-gelombang yang berhamburan tepat di depan jendela kamar saya. Sebagai tambahan, ia mempersembahkan pula kuda terbang yang menarik kereta kencana kerajaan, lengkap dengan burung-burung yang terbuat dari kelupasan langit senja. Betapa saat itu langit merupakan pagelaran mahakarya yang paling menakjubkan. Saya akhirnya tergoda juga untuk melihat ke luar jendela kamar. Orang-orang semakin heboh dan berteriak histeris.

“Ayo, turun ke sini. Lekati saya lagi. Resapi saya lagi. Peluk saya lagi. Ciumi saya lagi. Rebahi saya lagi.” Saya masih ingat senja mengatakan hal-hal itu.

Saya kaget bukan main mendengar senja bisa-bisanya berbicara seperti tadi. Saya bersumpah bahwa saya tidak pernah melakukan apa-apa dengan senja. Saya sudah katakan kepada kalian untuk kedua kalinya, atau mungkin untuk yang terakhir kalinya, hubungan saya dan senja hanya sebatas hubungan antara manusia yang menyukai langit sebagai karya Tuhan. Tidak sampai secinta dan segila itu. Tidak sampai ada kontak fisik, apalagi main peluk, cium, rebah-rebahan segala. Tidak sampai segitunya saya memaknai rasa suka saya terhadap senja.

“Saya tidak pernah berbuat begitu dengan kamu. Memikirkan saja saya tidak pernah!”

“Tapi sekarang kamu dapat melakukan apa saja dengan saya. Nikmatilah keindahan saya sesuka hati kamu, sepuas hati kamu.” Ia mecoba menggoda lagi. Percikan kembang api jingga keemasan itu menyentuh tubuh saya. Gelombang-gelombang air terjun jingga keemasan itu pun menyembur tangan saya dengan lembut.

Senja tidak mengerti bahwa saya bukan lelaki yang gampang digoda. Saya marah besar saat itu, tetapi lagi-lagi saya maklum. Saya tahu bagaimana perasaan orang yang rayuannya ditolak dan diabaikan mentah-mentah, pasti seseorang itu bakal kesal bukan main. Senja mungkin tidak dikategorikan sebagai orang, tetapi mungkin kurang lebih rasanya sama.

“Semua orang juga tahu kamu memang indah. Orang buta juga tahu. Tapi, maaf, kamu sudah kelewatan, Senja.” Saya tutup jendela kamar saya dan saya tutup pula tirainya. Saya tidak lagi berniat sedikit pun untuk menikmati senja itu lagi.

“Cewek sinting! Bajingan!” bentaknya.

Dan hari ini merupakan puncak dari pertemuan saya dengan senja.

“Sekarang katakan, kamu ke mana saja?”

“Saya tidak bisa jelaskan. Saya bilang, kamu tidak akan pernah ngerti!”

“Tapi kan kamu bilang saya indah. Kamu suka saya! Harusnya kamu datang dan ketemu saya lagi! Resapi keindahan saya lagi!”

“Tidak lagi.”

Saya melakukan hal yang sama ketika hari kemarin ia datang malam-malam tanpa izin di langit rumah saya: melengang begitu saja masuk rumah, mengunci pintu rapat-rapat, menutup dan mengunci setiap jedela rumah rapat-rapat, begitu pula dengan tirainya. Tanpa pamit. Tanpa jabat tangan. Tanpa melambai. Saya tahu ini memang tindakan yang kurang sopan. Tetapi, untuk yang sekarang, saya sudah hilanng kesabaran. Saya tidak ingin diusik oleh senja lagi. Ia sudah terlalu jauh memaknai hubungan kami. Caranya sudah kampungan. Saya makin hilang rasa suka sampai akhirnya mati rasa.

Saya kira hanya manusia saja yang diberi kesabaran. Senja itu ternyata memiliki kesabaran juga. Mulai detik itu pula, seluruh kesabaran yang dimiliki senja runtuh seketika. Kesabaran ia terhadap saya sudah mencapai ambang batasnya. Ia pergi begitu saja ketika saya bilang bahwa ia bukan lagi sesuatu yang saya suka. Langit jingga keemasan itu memudar. Bola matahari jingga keemasan menciut hingga lenyap. Mega-mega bertebaran yang dilemparkan dari pancaran sinar matahari itu kini telah menyublim menjadi gas. Langit-langit yang bewarna biru keperakan atau merah keemasan telah luntur. Kembang api senja mungkin telah layu. Air terjun jingga keeemasn berhenti mengalir. Gelombang-gelombang surut. Tidak ada lagi kereta istana, apalagi kuda terbang. Tidak ada lagi senja pada langit di atas rumah saya. Atau bisa jadi tidak ada lagi senja untuk saya.

Ternyata benar. Mulai saat itu, tidak ada lagi senja untuk saya.

Saya sempat berniat untuk meminta maaf kepada senja suatu hari. Saya mengunjunginya kali ini dengan berniat untuk meminta maaf, dengan mengajaknya minum teh bersama-sama atau saya traktir makan. Tetapi, pada waktu senja, langit berubah warna menjadi abu-abu polos. Tidak ada apa-apa pada langit itu. Tidak ada awan. Tidak ada matahari. Saya naik ke atap gedung berlantai dua puluhan untuk mengetuk pintu langit senja, tetapi tidak ada respon apa-apa. Di muka langit dituliskan dalam sebuah kertas: “Senja tidak sedang berada di rumah.”

Saya tahu ia ngambek besar-besaran. Bisa dilihat dari bagaimana ia menampilkan dirinya. Langit senja dapat dinikmati oleh pasang mata orang-orang lain, sedangkan di atas kepala saya langit senja hanya berupa langit abu-abu polos yang mengikuti ke mana saja saya pergi. Tidak ada satu pun orang yang mengeluh tentang perginya senja dari hamparan langit, karena hanya sayalah satu-satunya orang yang tidak bisa melihat senja itu lagi.

Padahal, saya ingin menjelaskan kepadanya bahwa hubungan saya dengannya memang tidak begitu istimewa. Saya hanya suka pada senja, tetapi bukan jatuh cinta. Sebegitu sintingnyakah saya hingga saya tidak bisa mencintai manusia lain, sehingga harus berpacar-pacaran dengan langit? Saya ingin mengatakan bahwa saat ini saya sedang jatuh cinta yang teramat dalam terhadap seseorang, yang kehadirannya telah menandingi keindahan mana pun yang pernah tercipta di dunia ini, termasuk senja. Saya jatuh cinta terhadap seorang lelaki. Manusia. Bukan benda mati. Bukan langit. Tetapi, sesuatu yang benar-benar hidup dan bisa saya kasihi. Syukur-syukur sehidup semati.

Tadinya saya kepikiran untuk mengenalkan kekasih saya pada senja, tapi bodo amatlah. Sudah saya bilang, dia pasti tidak bakalan ngerti jatuh cinta. Paling-paling dia iri kalau ia tahu keindahannya ada yang bisa menandingi.


Bardjan, 2014
Untuk Wilaga Azman Kharis


Rabu, 01 Januari 2014

Tanggal Satu

masehi baru dibuka dengan perhelatan rupa-rupa. Kembang api nyala-nyala dengan warna
yang rupa-rupa pula. Muda-mudi bersolek sebelum jalanan raya di kota kami dipepati dengan kendara-kendara bermesin. Klakson adu-mengadu. Di luar terompet ditiup bocah-bocah
bersahut-sahutan tak mau kalah. Malam tidak pernah sesiang ini. Cuma setahun sekali.
Masehi baru barangkali jangan dilewatkan dengan gaya biasa. Ada seremoni-seremoni sakral yang seakan menjadi ajian rawarontek,
seperti pesta, tapi bukan pesta, tapi agak-agak mirip pesta. Atau hanya sekadar ikan-ikan yang
diolesi mentega, dibakar bersama kawan-kawan kami.

Awal masehi yang bagus, tuan-tuan, nyonya-nyonya. Jangan girang dulu
adakah hari-hari tuan dan nyonya berikutnya bakal sesenang ini malam?
Jangan tanya saya balik.

Bardjan, 2014
hari pertama yang tidak mengesankan