Minggu, 09 Maret 2014

Kereta

Keretamu sudah kasatmata di ujung rel tetapi saya pura-pura tidak tahu
Lagipula saya tidak mau tahu. Sialnya keretamu makin mendekati peron
di mana kita masih menggeluti keberduaan hingga malam larut.

Sempat saya coba pura-pura tuli tetapi kereta itu kini menderu berdesing makin keras
padahal masih kami lekati bola mata masing-masing. Padahal masih kami malu-malu bertukar rindu.
Sebab sukar jika rindu hanya dituntaskan dalam rangkuman waktu yang satu kali kedip. Memangnya
esok hari kita masih bisa melunasi rindu?
Sedangkan hidup saya lebih semarak sebelum kereta itu main seenaknya menjemputmu,
dan kamu bakal lenyap menyublim dengan udara malam di ujung rel sana.
Tak ada yang tahu apakah
esok saya yang mengantarmu lagi ke peron ini, atau kamu bakal menjelma persis kereta,
yang mampirnya cuma sejenak dan berangkat dengan cepat sebegitu saja
Ah, saya tak mau ambil perduli

Keretamu tiba di depan kepala kita beberapa sekon lagi. Satu dua tiga empat lima enam tujuh
delapan sembi- Nah, persetan!
Sempat kukutuk waktu saat itu juga agar berhenti berapa jenak, tetapi siapalah punya daya.
Waktu — pun mungkin kereta, hanya mampu diberhentikan Tuhan.





Hati-hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar