Sabtu, 09 November 2013

Ketika Saya Menulis Dia

Kepada Wilaga Azman Kharis

Kalau misalnya sewaktu-waktu saya disuruh menulis puisi tentang tuan dengan pemilik nama di atas, saya mau nyerah saja. Saya tidak bisa.
Maaf, bukannya saya tidak mendapat apa-apa yang berharga untuk dipuisikan dari dirinya. Justru saya kewalahan. Saya benar-benar kewalahan dengan apa yang saya dapatkan dari tuan pemilik nama di atas.
Terlalu banyak kata-kata yang antre berbaris-baris untuk saya pindahkan ke dalam puisi. Terlalu banyak metafora dan analogi menawan yang berebut untuk saya bikin jadi larik-larik puisi.

Begini perumpamaanya kalau saya sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mewakilkan dia: Ketika saya membuka jendela kamar, saya melihat langit runtuh oleh kata-kata. Beratus-ratus kata-kata ambruk hingga jatuh di depan mata saya. Kata-kata itu menyerang saya. Mereka saling dorong-mendorong, saling sikut-menyikut, tusuk-menusuk. berlomba-lomba untuk saya pilih menjadi bagian dari puisi: "Tulis saya saja dalam puisimu!" "Saya saja yang ditulis!" "Jangan dia, pilih saja saya! Dia terlalu monoton!" "Dia itu klasik, basi! Mendingan tulis saya!" 
Mereka bertengkar segitunya demi bisa saya tulis jadi syair. Makanya, saya jadi bingung memilih kata mana yang memang pantas untuk mewakilkan tuan itu. Mereka semua saya seleksi, tetapi hasilnya nihil. Saya tidak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Saya selalu merasa kurang dengan makna kata-kata tesebut, belum puas. Sempat saya gigit dan telanjangi makna kata-kata itu sampai bugil, tetapi saya belum menemukan makna yang cocok; yang paling cocok untuk mengisahkan tuan itu, mewakili keindahannya, dan menggambarkan bagaimana saya dibuatnya bahagia dengan sederhana. Bintang, rembulan, senja, matahari, laut, pesisir pantai, sebenarnya sudah terlewat lapuk untuk mewakilkan betapa berharganya tuan itu. Mereka kalah saing. Saya jadi tambah pening.

Apalagi kalau saya bertemu langsung dengan si tuan itu, bakal jadi tolol kalau saya malah mencari-cari kata-kata apa yang akan saya tulis untuk puisi saya ketika saya pulang ke rumah. Yang saya lakukan ialah merasakan, merasakan, dan merasakan. Merasakan betapa nyatanya eksistensi kami dalam konsep kebersamaan "aku-dia", merasakan betapa matanya bukan sekadar menatap, tetapi menjinakkan hati saya, merasakan betapa saya temukan hangat dan tenang dengan caranya yang begitu sederhana. Dan saya selalu mengutuksumpahi waktu pada jam tangan kita, di mana waktu menunjukan saat-saat di mana kami harus pulang. Betapa jarang saya meraskaan keindahan serupa ini, yang akhirnya saya temukan pada diri si tuan itu.

Jadi, saya angkat tangan kalau disuruh, atau bahkan dipaksa untuk berpuisi tentang si tuan itu. Bukannya ia kurang menginspirasi atau saya kurang menghayati kehadirannya. Justru, seperti yang saya omong tadi, ketika saya harus berpuisi tentang dia, seluruh kata-kata rebutan secara kasar untuk dituangkan ke dalam pusi. Tetapi sumpah, di antara ratusan ribu kata-kata itu, saya tidak mampu menemukan kata-kata yang pas untuk menggambarkan tuan itu. Kata pepatah klise, tidak semua hal bisa diungkap jadi kata. bukan? Ada kalanya kita hanya perlu merasakan.

Dan si tuan yang sedang membahagiakan saya itu, sungguh tak perlu saya tuliskan dalam puisi. Kata-kata manapun kewalahan untuk menggambarkan betapa ia sangat punya arti untuk saya. 



Bardjan, November 2013


A Cat Who Snores In Sleep

Ibu,
saya tengok wajahmu yang sedang lelap-lelapnya terpejam di ranjang
saya jadi iseng-iseng mikir
apakah itu wajahmu jua ketika terbaring di batas usia?
apakah begitu rupamu ketika jika kamu pergi selamanya
plesiran ke dunia yang sana, sampai lupa waktu pulang?
meninggalkan saya yang mati sejiwa-jiwanya kalau hidup tanpa kamu


kemudian saya arahkan pandang saya ke bawah ranjang
ada si belang, kucing saya yang terlelap juga, mendengkur dengan lucunya,
macam manusia
tertawalah saya dibuatnya sampai pecah keheingan

bukannya apa-apa
saya tidak kuat kalau disuruh membayangkan yang pertama tadi


Bardjan, malam November

Si Pemuas Diri-sendiri

Kepada kawan-kawan,
entah kawan yang mana, saya memang suka asalan
Maaf beberapa waktu lalu saya munafik dengan berkata bahwa, "tidak apa-apa saya menulis dan tidak ada satu orang pun yang baca. yang penting nulis."

lihat kawan-kawan, saya sedang masturbasi. rasanya enak sekali. sampai lemas saya dibikin tangan saja sendiri. Memuaskan diri sendiri nikmat juga ya? Maaf tak bisa saya ungkapkan senikmat apa rasanya, kawan-kawan coba saja sendiri. ingat ya, sembunyi-sembunyi. Kunci pintu serapat mungkin
karena kalau orang-orang lihat, mati langkah kamu. Kamu pasti baka ditertawai sampai borok itu komuk. Hendak ditaruh mana, Nduk?
Imajinasimu, yang menjadi bahan masturbasimu, sampai loyo kamu dibikinnya, pasti hanya akan dipecundangi oleh mereka. Mereka bakal bilang saya menjijikan. Munafik, kawan-kawan!
tetapi, apakah dengan masturbasi ini saya memang menjijikan? Ya, kawan. Saya menjijikan. Plus munafik pula. Bagaimana tidak? Saya berimajinasi, merangkai inspirasi, kemudian saya tumpahkan jadi satu tulisan. Kemudian, saya merasa puas.
Saya menulis demi kepuasan saya sendiri. Takut untuk dibaca orang lain. Takut kalau ketahuan orang lain. Sembunyi-sembunyi. Tertutup dari orang lain. Tidak dibaca oleh orang lain. Tidak dinikmati pasang mata orang lain. Munafik jika kamu hanya inginnya begitu!
Bukankah saya, dan kita, tidak mau hanya hidup seumur-umur cuma bermasturbasi, kan? Saya, dan kita, ingin mendapat kepuasan dari orang lain, bukan? Ingin "diladeni nafsunya" oleh orang lain, eh?
Ya, dengan bermasturbasi; menulis hanya untuk dibaca diri-sendiri, adalah suatu hal yang munafik, kawan-kawan! Akui saja lah, tidaklah kalian ingin karya-karya kalian dinikmati oleh orang-orang di luar sana, bukan? Begini saja, biar lebih to the point, saya katakan: Kita mengharapkan apresiasi dari orang lain. Sekecil apapun bentuknya. Sekadar dibaca kemudian dilupakan dan diacuhkan, sudah punya arti untuk saya.


Setidaknya itu menurut saya. Maaf, saya memang suka asalan, kawan. Saya akhiri saja dulu. Karena dengan menulis ini, saya pun sedang masturbasi, bukan? Menulis untuk kepuasan diri-sendiri. Eh, ada yang baca jugakah? Terima kasih. (Bardjan)

Dahulu Kala, Ada Seorang Wanita yang Suka Menyair

"Hey, katanya kamu penyair yah? Omong-omong, penyair yang seperti apa? Penyair macam bagaimana pula? Penyair yang mandul? Penyair yang botak karyanya? Penyair yang lengannya gersang? Jangan pernah sebat-sebut dirimu penyair, Goblok. Nyair saja belum becus. Kalau belum becus sih masih dimaklum, yang penting mau bangun lalu belajar nulis. Kalau belum pernah dimuat di mana-mana ya masih dimaklum, wong levelmu masih level anak bawang. Kalau memang syair-syairmu belum pernah dititelkan juara oleh ajang kompetisi manapun, ya masih dimaklumin, wong kamu memang pecundang kalau sudah masalah lomba-lombaan. Tapi, kamu mahu tahu apa itu pecundang paling sial? Sudah pecundang sial pula. Ya, itu kamu! Kamu yang memang sudah malas untuk nyair lagi. Makin ke sini makin lahir orang-orang yang ikhlas mahu coba menulis, bukan mau jadi pecundang sial macam kamu. Nah, kamu? Menulis saja tidak mau. Disuruh mulai menulis satu huruf saja malasnya setengah modyar. Pakai alasan sudah kehabisan kata-kata lah, kata-kata sudah dicuri penyair terkenal lah, mata pena sedang tidak licin lah. Dasar kamu picik, cari alasan semahsyur awan, padahal alasannya cuma satu: malas nulis. Awas hati-hati, nanti kualat kamu dibikin mulutmu sendiri. Kalau memang mahu jadi penulis, ya nulis. Jangan bawa-bawa alasan bahwa jemarimu kehilangan lentiknya untuk menulis, kehabisan stok kata-kata, kerontang inspirasi, tidak punya renungan, atau tidak punya momentum yang tepat. Alamak, masih saja kamu lontarkan alasan-alasan setan ampas itu!! Bisa pecah biji kelaminmu. Kalau kamu jadi manusia yang selamanya tidak bisa menyair lagi, lebih baik kamu jadi batu saja."


wanita itu memang begitu dari dulu, suka ngomong sendiri...

Bardjan, 
tengah malam buta