Minggu, 09 Maret 2014

Kereta

Keretamu sudah kasatmata di ujung rel tetapi saya pura-pura tidak tahu
Lagipula saya tidak mau tahu. Sialnya keretamu makin mendekati peron
di mana kita masih menggeluti keberduaan hingga malam larut.

Sempat saya coba pura-pura tuli tetapi kereta itu kini menderu berdesing makin keras
padahal masih kami lekati bola mata masing-masing. Padahal masih kami malu-malu bertukar rindu.
Sebab sukar jika rindu hanya dituntaskan dalam rangkuman waktu yang satu kali kedip. Memangnya
esok hari kita masih bisa melunasi rindu?
Sedangkan hidup saya lebih semarak sebelum kereta itu main seenaknya menjemputmu,
dan kamu bakal lenyap menyublim dengan udara malam di ujung rel sana.
Tak ada yang tahu apakah
esok saya yang mengantarmu lagi ke peron ini, atau kamu bakal menjelma persis kereta,
yang mampirnya cuma sejenak dan berangkat dengan cepat sebegitu saja
Ah, saya tak mau ambil perduli

Keretamu tiba di depan kepala kita beberapa sekon lagi. Satu dua tiga empat lima enam tujuh
delapan sembi- Nah, persetan!
Sempat kukutuk waktu saat itu juga agar berhenti berapa jenak, tetapi siapalah punya daya.
Waktu — pun mungkin kereta, hanya mampu diberhentikan Tuhan.





Hati-hati.

Rokok dan Tuan yang Merokok

Saya terlalu hafal bagaimana kamu menghisap rokok
lekat-lekat. 
bahkan kelewat lekat sampai saya masuk ke dalam

sebab saya mau jadi asap yang berlalu di kerongkonganmu, hingga akhirnya
melesat ke dalam ragamu, tetapi tidak menjadi racun. Justru
menjadi antidote yang paling membahagiakan sepanjang malam
sekepulanganmu dari lingkar kerutinan yang melelahkan.
Saya mau membebaskan ketidakbisaanmu mengeja keceriaan ketika bosan. Saya mau mencairkan
nafsu murkamu yang bikin pikiranmu sesak. Saya mau membunuh kebuntuanmu pada
keletihan yang tidak bisa digambarkan aksara.

sebab kamu menghisap rokokmu dengan nikmat. Setubuh-tubuh saya masuk terhisap
ke dalam. Ingin serupa candu dalam setiap batangnya.
Dengan khusyuk. Seperti meramu ajian mantra-mantra untuk dewa. Seperti bertirakat di altar.
Seperti mengucap ayat-ayat yang sakral. 
Ujung rokok itu menyala mengeluarkan api-api yang semakin merekah nyala 
seperti mega-mega panas ketika kamu menghisapnya dengan khidmat. Alamak. 
Kemudian kamu menghembuskan asapnya seperti sihir. Seperti simsalabim. Seperti amin.
Semua keletihanmu, pesakitanmu, kekosonganmu, dan ketidakberdayaanmu untuk meluapkan amuk,
menjadi penglepasan yang paling berkelas. Menjadi pemuasan yang paling puncak.

Sedang asap itu mengepul bersenyawa dengan udara di langit-langit. Berterbangan dengan lembut,
menyerupai gumpal awan yang berkejaran pelan-pelan kemudian menipis dan menghilang.
Saya tahu betul kamu merasa kehilangan ketika asap itu pergi. Lalu kamu menghisap rokok lagi.
Dan lagi.

Tidak pernah dalam hidup, saya merasa kemimpi-mimpian melihat orang merokok.
Seharusnya merokok dilakukan dengan wajar dan normal sajalah
tidak sampai membuat saya ingin serupa rokok, dasar kamu!



Sabtu, 01 Maret 2014

Kepada Lelaki yang Banyak Digemari

Boleh dibilang ini surat dari penyuka rahasia. Adakah orang-orang di sana menyebut dengan istilah serupa?

Bahkan saya melemparkan banyak tetanya kepada diri sendiri; menghardik sampai gemas ketika menyadari betapa beraninya saya menuliskan ini untuk kamu. Jangankan menulis, memulainya pun saya tidak kepikiran sebelumnya. Jangankan kepikiran untuk menulis, membayangkan kamu akan membacanya suatu hari saja membuat saya bergidik ngeri. Adakah misalnya saya dituduh gila yang kedua kali?

Kamu boleh omong saya gila, sebab ketika saya menekan tuts kibor hingga sampai pada kalimat ini, saya pun nyadar betapa gilanya saya. Sekali lagi melempar tetanya pada diri, hal bodoh yang mana lagi yang telah saya lakukan? Tetapi kamu jangan salah sangka dulu. Saya menulis ini tanpa maksud apa-apa, terlewat murni tanpa maksud apa-apa. Saya hanya merasa bahwa ada lebih dari lima ratus butir kata yang dari kemarin-kemarin sudah sembarangan menggelitik kerongkongan saya. Saya pernah bilang, gatal rasanya. Gatal. Sudah saya garuk ulang-ulang tetapi makin-makinlah gatal.

Izinkan saya mulai berkata-kata tentang perasaan yang suka jahil mengganggu saya tanpa kenal waktu, mau siang mau malam. usil Di sisi lain saya tahu betul bahwa terkadang kata-kata hanya menghancurkan semuanya. Maka dari itu, ketika kamu selesai membaca ini, saya dapat nerima apa pun bentuk risikonya. Kamu boleh sebal. kamu dipersilakan jijik. Kamu dipersilakan pura-pura lupa kita pernah kenalan. Tetapi ingat, kamu, jangan pernah salahi saya ketika saya punya rasa. Memang ini salah saya,  tetapi Kamu pun turut serta, bukan? Namun, beribu sungguh, saya tidak mengharapkan apa-apa dari Kamu. Sedikit pun saya berani janji, tidak. Murni. Kamu bisa bedil kepala saya kalau dirasa itu perlu.

Tetapi ternyata kamu salah. Saya tidak gila. Justru ketika menulis ini saya yakin betul bahwa saya sedang waras-warasnya.

Terima kasih telah menjadi hangat dalam secangkir teh saya. Terima kasih sudah jadi penghibur yang menenangkan. Senja jadi muram ketika kamu datang. Rembulan pucat pasi ketika kamu senyum. Bukan hal ajaib lagi ketika banyak kawan nyaman berada dekatmu berlama-lama, terutama perempuan. Biarkanlah saya beranalogi kecil-kecilan mengenai betapa nyamannya saya di dekat kamu. Kamu itu candu. Suaramu, matamu, tertawamu, kelakar dan jenakamu, ramahmu, amarahmu, hingga kulitmu yang mungkin tidak sengaja menyentuh kulit saya...Walaaah... Sungguh saya nyerah untuk lanjut menuliskan. Saya tidak berani membayangkan betapa banyaknya hal-hal yang membuat banyak orang lain, terutama perempuan, rela untuk berada di dekatmu. Membayangkannya saja saya tidak berani. Begitu indah. Sampai-sampai dari tadi senja mencak-mencak karena cemburu. Ia marah karena ada yang mampu menandingi keelokannya.

Bahkan ketika saya sedang berdua saja denganmu, waktu berhenti berputar. Saya yakin betul adanya. Saya sempat tengok arloji saya waktu itu, dan benar adanya bahwa waktu membeku. Saya pun jadi buta waktu. Kemudian, setiap milisekon pun benar-benar saya resapi dengan sepenuh daya. Tidak boleh ada remah waktu yang tersisa. Sayangnya, ketika waktu kembali pulang kepada arloji kita masing-masing, semua terasa berlalu begitu cepat. Sesal datang seenaknya, seraya bicara: mengapa waktu berharga berdua tadi tidak saya manfaat dengan sebaik-baiknya? Padahal, betapa waktu benar-benar statis pada saat itu. Lalu saya mengutuksumpahi diri sendiri, seakan-akan punya hutang. Seakan berkata: mengapa saya membuat semuanya terasa singkat?

Saya yakin perempuan-perempuan di luar sana satu pikir dengan saya mengenai ini. Saya berani taruhan.
Dan saya memang begini adanya. Saya tahu diri dan tahu tempat. Oleh karena itu, daritadi saya beraksentuasi bahwa saya tidak ada maksud apa-apa. Mengetahui bahwa kamu membacanya sudah terlalu melewati kecukupan saya. Terima kasih, Tuan. Dengan menulis ini, saya berani jamin bahwa tidak ada keterlibatan hati di sini. Dalam hal seperti ini, menggunakan hati artinya bersiap untuk mati. Saya tidak terlalu bodoh untuk menggunakan hati saya lagi, atau untuk mati yang kedua kalinya. Jadi, saya menulis ini dimaksudkan untuk berterima kasih karena kamu sudah jadi telaga yang menyegarkan padang dahaga di dalam sini.


Saya merasa bodoh menulis ini. Sekadar dua halaman tetapi sudah bikin saya kelimpungan setengah modar. Anggap saja hanya remeh-temeh atau basa-basi belaka, karena memang adanya begitu. Sebab kereongkongan ini sudah tidak begitu gatal. Kata-kata sudah mencuat berhambur-hamburan di atas kertas. Nyaman. Walau ada juga sedikit rasa sesal mengapa saya harus menulis ini. Jujur, saya sering malu dengan ketidakbisaan saya mengolah perasaan ke dalam kata-kata. Sebab perasaan macam ini harusnya didiamkan saja. Sebab kata-kata seringkali hanya menghancurkannya.