Jumat, 11 Juli 2014

Hambar

malam setia dingin ketika perapian
kunyalakan besar-besaran di pojokan
rumah yang kusendiri iseng menanti
entah siapa
mungkin seorang di seberang laut
atau seorang yang kuumpamakan laut
tapi asinnya tidak kunjung pulang
sehingga hambar

begitu kuteguk pula hangat yang lupa pulang
kepada secangkir teh
dan malam-malam yang tidak lagi menjanjikan
rembulan perak di atap rumahmu
seolah menyuratkan rindu 
yang tidak berkabar apa-apa
selain gelisah yang arahnya buta

entah berbentuk apa lagi rindu
mana kutahu
rindu yang dulu sama-sama ditemukan
pada sepasang mata yang apinya nyala
namun kian menunggu padam
menuju hambar
menunggu modar



kecuali di mataku



Narasi Tentang Penyair yang Tak Pernah Pulang

Kawan, melupakah kau pada kebebasan yang asalnya ditulis dari puisi yang tintanya darah
dari jari penyair yang selaian piawai dipakai nulis
pun piawai nunjuk-nunjuk langit terik sampai jari telunjuknya burik
di baris depan sembari mulutnya busaan mekekik-mekik?
Menghardik kezaliman tirani
atas kesemena-menaan pada orang kecil macam kami
yang melulu mengumpat dalam sunyi, takut digebuki
takut disetrum sambil ditelanjangi

Tapi penyair itu membuat tirani pengecut, Kawan
Tirani sebegitu kejam takut pada puisi
merasa dipecundangi puisi-puisi dari penyair kerempeng,
berkaos oblongnya putih kumal,
ke mana-mana pakai sandal,
dengan satu mata lebam bekas dihantam anjing-anjing bersenjata

Diburulah ia ke ujung negeri,
bersembunyi dari pulau ke pulau, dari dusun ke dusun
Istri dan anak menanti dering telepon mengantarkan kabarnya
sekadar memastikan si penyair belum mampus dibedil
Dalam sembunyi ia tak nyerah bersajak mengenai kelaliman penguasa
dan anteknya yang sedang ongkang-ongkang kaki di istana
Sedang di luaran mukanya dipamerkan surat kabar sana-sini,
pun anjing-anjing bersenjata anak buah tirani
makin ganas mengendus jejaknya

Lama-lama  tirani gelisah bukan main
sebab hari ke hari puisinya mendobrak kami yang sedang melamun di bilik-bilik kamar
bangun dan melawan
meski satu-satu kawan hilang berjatuhan

Hingga tibalah hari raya kami saat tirani dirobohkan, Kawan
Kami kuat berbaris di jalan-jalan
tidak takut lagi digebuki atau disetrum sembari ditelanjangi
Persetanlah anjing-anjing bersenjata yang merobek barisan kami
Yang kami ingat hanya kata akhir dalam bait puisi si penyair;
Lawan!
Puisi penyair itu bergaung di setiap barisan
dipekikkan keras-keras melawan dentuman bedil yang berulang kali menembus dada
dan kepala kawan-kawan

Namun si penyair menghilang sejak itu
Tak kembali pulang hingga begini waktu
Kabar kemenangan boro-boro tahu
Mungkin  kena bedil atau dibikin-bikin hilang, toh siapa tahu?

Sedang istri  dan anaknya menaruh harap ketinggian
pada ombak yang berjanji pulang kepada pantai,
mengisahkan penyair yang hilang tanpa meninggalkan bangkai
Hanya meninggalkan  puisi yang bersaksi atas tirani yang pernah
tak berkesudahan memenjarakan kami dalam bungkam sunyi

Sementara teleivisi menyiarkan tokoh-tokoh kesohor negeri asuhan tirani
ngomong-ngomong hak asasi
sambil minum kopi





untuk Wiji