Senin, 30 September 2013

Pertemuan

Kita berhutang lagi pada pertemuan selanjutnya; pada senja yang mataharinya perlahan dilahap awan sebagai kudapan malam.
Kita berhutang lagi pada pertemuan selanjutnya; pada malam yang tidak pernah ngeluh untuk bersaksi atas jamuan rindu kita saat itu. Angin membelai malu-malu rambutmu. Rembulan jadi muram pasi, mencemburui ketampananmu. Tidak pernah malam sesyahdu ini dalam hidup saya. Maka itu, izinkan saya membikin kenangan malam ini pada bulu matamu yang lentik.

Dan ketika detik waktu kembali pulang ke arlojinya masing-masing (juga pada arloji di tangan kananmu), saya hafal bagaimana kelanjutannya: kita lunas malam ini. Tapi kita berhutang lagi pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Kamu tahu betul,  saya mana mungkin kenyang.



Teruntuk Wilaga.

Senin, 23 September 2013

Topeng dan Senja

Saya tidak jadi minum kopi.

Ketika setengah perjalanan menuju kedai kopi, mata saya terbelalak. Ada perhelatan senja yang indah sedang digelar di langit sana. Warnanya jingga kemerahan, kadang-kadang suka serupa emas. Ada bola api yang kemerahan, tapi kadang keperakan juga. Ada awan yang juga jadi jingga, kemudian menyemburkan semburat mega-mega yang merekah keluar seperti kembang api tahun baruan. Saya dulu sempat melihat perhelatan langit semacam ini, namun waktu itu saya lebih beruntung. Saya melihat kereta kencana kerajaan meluncur di langit yang ditarik oleh kuda-kuda terbang warna putih yang memancarkan sinar. Saya tak bisa melupakan sore itu selamanya.

Saya menganggap bahwa sore ini pun saya sedang dapat lotere; menyaksikan langit senja yang langka seperti kiriman dari taman surga. Entahlah. Mungkin ini salah satu berkah karena saya sedang tidak pakai topeng. Eh, tunggu. Apakah saya sudah pernah menulis puisi tentang topeng? Saya bercerita tentang realita di kolong langit senja ini melalui puisi itu. Topeng.

Sekarang semua orang menggunakannya. Lihatlah, wajah mereka seperti sudah satu nyawa dengan topeng itu. Mereka buta, tapi mereka pura-pura bisa melihat. Mereka bisa melihat, tetapi dalam suatu keadaan terbalik. Mereka melihat kawan jadi lawan, mereka melihat gelap jadi terang, mereka melihat ketamakan sebagai sebuah kewajaran, mereka melihat adegan perkosaan sebagai hiburan, mereka melihat arak sebagai susu soda, mereka melihat pengemis kurus sebagai orang yang kebanyakan makan, mereka melihat dirinya sebagai orang kurus yang kurang makan. Mereka bahkan melihat kolam air menjadi kolam api, air sungai jadi api sungai, lautan jadi lautan api. Mungkin ini salah satu penyebab mengapa mereka jadi lebih senang mendekati api dan bermain-main dengannya. Mereka melihat bangkai anjing sebagai sebuah kenikmatan, sampai-sampai mereka memakannya. Mereka melihat kesedihan saudara-saudaranya sebagai sebuah hiasan, kadang mereka bungkus butir-butir air matanya untuk dijadikan kalung.

Seperti yang sudah saya tulis dalam puisi Topeng, hati dan otak para pengguna topeng itu tidak lagi mengenali wajahnya sendiri. Oleh karena itu, hati mereka mau tak mau harus menyesuaikan apa yang dilihat topeng itu, sehingga timbullah pikiran dan perasaan yang sebenarnya sama-sama palsu. Mereka tertawa walaupun tidak ada yang lucu. Mereka tersenyum ketika sedang digebukin. Mereka kaya padahal kere. Mereka merasa pintar padahal otaknya guoblok. Mereka waras padahal gila. Yang paling saya sumpah serapahi adalah, saya kasihan melihat mereka harus pura-pura tidak jatuh cinta ketika mereka jatuh cinta.

Lihat lonte itu. Dia pasti sudah sangat ahli pakai topeng. Saya tahu di balik senyumnya yang jalang, pasti ia menangis pilu karena harus dipakai sana-sini hanya demi alasan klasik dunia pelacuran; butuh uang. Tak jauh dari situ, saya melihat empunya kepalsuan. Salah satu suhu pengguna topeng. Kerahnya putih, dasinya bagus, jasnya bau Gucci, dan sepatunya Kickers asli. Ia baru saja sarapan duit kami tadi pagi, tapi mukanya tersenyum puas, seperti pahlawan yang sedang dipuja atas jasa-jasanya. Tak jauh dari si Kerah Putih, saya melihat seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Ibu itu berbicara kepada anaknya, “Sudah kenyangkah kamu hari ini, Nak?” diikuti dengan anaknya yang berteriak senang di pangkuannya, “Sudah,Bu. Hari ini kita makan enak banyak sekali!”

Saya hanya bisa memandangi orang-orang yang bermacam-macam rupa tetapi sebenarnya nasib mereka sama. Sama-sama dijungkirbalikkan oleh realitas karena menggunakan topeng itu. Lebih parahnya lagi , mereka sudah nyaman dengan dunia yang terbalik ini. Mereka sudah kelewat nyaman melakukan hal-hal yang sebenarnya bertubrukan dengan hati dan otaknya, yang saya bilang sudah tidak mengenali wajah mereka sendiri.

Sungguh, perhelatan di kolong langit tentang para pengguna topeng ini berbanding terbalik dengan langit senja kali ini. Ketika saya sudah terlalu enek dengan wajah-wajah topengan mereka, saya kembali menegadah ke atas langit. Ah……senja yang cantik. Kini mega-mega berhamburan seperti hujan cahaya yang dipercikkan bola api bernama matahari itu. Warnanya emas dan berkilau. Ada yang sempat jatuh ke tangan saya, ketika saya genggam percikan itu berubah menyerupai Kristal yang membutir seperti permata. Saya tersenyum bahagia. Belum pernah saya melihat perhelatan langit semewah ini. Saya bersyukur karena topeng saya ketinggalan di rumah.

Lamunan saya terbuyar oleh suara cempreng dari pedagang asongan yang masih seumuran sekolah dasar. Pedagang topeng yang juga sedang memakai topeng. “Beli topengnya, Kak. Sepuluhribu satu, limabelas dua!”

Saya menggeleng.


“Beli dong, Kak. Saya mohon. Saya butuh uangnya untuk jajan, Kak. Bukan buat beli sepatu sekolah.”


(bersambung)

Rembulan Tunggal

Kamu tahu bahwa aku menyukai rembulan, maka kamu persembahkan rembulan yang paling megah kepadaku sejak itu. “Tidak dibungkus kado tidak apa-apa, kan?” Begitu tanyamu. Aku hanya nyengir saja. Kemudian kamu bertanya,“mau kado apa lagi?” Sudah cukup, kataku. Rembulan saja sudah terlewat cukup. Kamu berjanji akan memberikanku rembulan yang paling indah yang tak akan pernah aku temukan di setiap malam manapun.

Malam itu, kita memaknai tiap detiknya bagaikan menghadiri momentum yang paling sakral. Dan memang begitu pula yang kamu katakan, ada dua momentum sakral yang paling mendasar dalam kehidupan setiap manusia, yaitu pertemuan dan perpisahan. Aku diam. Ada seberkas takut yang mengintip pelan-pelan dari hatiku. Ini bukan perpisahan, kok, hiburku dalam hati.

Kamu adalah perantau dari negeri seberang. Aku masih tak percaya dengan namanya. Ketika aku menanyakan padamu apa nama negeri asalmu, kamu menjawab Padang Rembulan. Aku semakin antusias dengan  jawabanmu. Apalagi rembulan adalah hal yang paling kusukai di dunia ini. Ceritakan kepadaku apa yang membuat negeri itu dinamakan Padang Rembulan. Apakah aku akan bertemu dengan banyak rembulan dengan rupa-rupa yang berbeda yang setiap malam bergiliran untuk menampakan diri? Apakah di sana akan selalu terbit rembulan yang bulat telanjang dengan cahaya mega yang bewarna kuning emas dengan kulit lembut dan juga udaranya yang hangat berjabat tangan dengan bintang di sekelilingnya? 

Sial, kamu diam saja. Ayo jawab, paksaku. Kamu menjawab dengan sangat sederhana bahwa nanti aku juga akan mengetahuinya. Apakah itu artinya suatu saat aku akan bisa mendarat di Padang Rembulan itu, menikmati ribuan  bahkan ratusan ribu rembulan yang paling megah dan merona? Untuk yang ini, kamu langsung menjelma menjadi batu, sepenuhnya tidak menjawab. Tapi beberapa hari selanjutnya, kamu berkata padaku bahwa rembulan di Padang Rembulan itu berbilang tunggal, hanya satu-satunya. Dan itulah rembulan yang akan kamu jadikan kado untukku, yang akan kamu kirimkan setiap harinya dari sana.

Itu artinya di negerimu tidak akan ada lagi rembulan, dong?

Kemudian kamu menambahkan, kamu tidak akan keberatan kehilangan rembulan tunggal di kampung halamanmu. “Karena rembulan yang paling indah dalam hiduku dengan cahaya mega yang semburat tanpa temaram serta wujud bulat sempurna yang menenangkan jiwa, adalah kamu.”

Malam itu, yang kita lewati dengan berdansa di bawah cahaya bulan, bercumbu, menggeliat mesra dengan kata-kata rayu, salling mencubit dan menggamit dari sisi kiri ke kanan, berirama berulang kali. Tibalah hari baru di mana aku harus melihatmu berpisah. Kita bersumpah bahwa ini bukan perpisahan yang akan melempar kita jauh sebagaimana dua anak panah yang dihantarkan secara berlawanan sampai sejauh-jauhnya, yang satu meluncur ke bulan, yang satu lagi meluncur ke matahari. 

Jangan menangis. Di rembulan tidak boleh ada air karena kalau ada, nanti keindahannya bisa-bisa luntur.” Begitu katamu. Ini tidak akan lama, aku janji.” Begitu katamu. Namun aku tetap saja menangis.

Dan mulai sejak hari itu, kamu tak pernah ingkar janji. Bagaimana tidak? Aku terkesima ketika di pagi hari kuintip lewat jendelaku, ada rembulan yang menyembul di ufuk langit. Aku baru lihat yang semacam ini dalam hidupku. Mungkin manusia-manusia di bumi ini baru melihat kejadian serupa. Rembulan itu sangat cocok dengan apa yang pernah kita visualisasikan bersama; bulat sempurna dan cahaya semburat keemasan dari setiap inchi permukaanya. Aku mencoba menyentuh kulitnya dengan  naik ke atap rumah, benar-benar terasa lembut seperti menyentuh gunduk kapas. Sempurna! Persis seperti apa yang aku pesan. Ini adalah rembulan yang paling indah yang pernah aku lihat seumur hidup. Cahayanya bersinar sepanjang hari, bukan hanya malam. Pagi, siang, dan sore. Bagaimana bisa kamu mengirimkan rembulan semacam ini untuk terus terbit sepanjang hari tanpa perlu bertengkar hebat untuk berebut tempat dengan matahari dan embun pagi, matahari dan terik siang, dan matahari senja? Bagaimana kamu bisa membuat rembulan ini berdamai dengan mereka?

Ketika aku bertanya padamu mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas melalui sepucuk surat, kamu hanya menjawabsuratku  satu kalimat singkat , padat, dan tak akan pernah kulupa: “rembulan itu akan terus terbit di situ dan akan selalu mengikutimu selama aku mencintaimu....”

Aku tersipu malu. Bagaimana tidak? Rembulan itu terus mengikutiku sepanjang hari ke manapun aku pergi. Ke mana pun aku datang, rembulan itu pasti ada di sana. Selalu aku sempatkan untuk beristirahat sejenak di atas bukit, menyentuh permukaan kulitnya, membelainya, kadang memain-mainkan cahayanya ke dalam  pupil mataku. Aku bahagia melakukan  ini setiap hari karena dengan ini aku bisa merasakan bagaimana di dekatmu. Cahayanya yang hangat dan terang adalah dekapamu, sedangkan kelembutan kulitnya adalah pelukmu yang tenang. Rinduku masih bisa kukirim dari jauh, begitu pun rindumu. Cinta memang tak butuh sesuatu yang konkret, bukan? Maksudku, sepasang kekasih tidak perlu saling bertemu, saling berpeluk, dan saling mencium. Cukup dengan isyarat yang mampu menciptaakn getaran yang merangkak melalui partikel-partikel untuk diresapi satu sama lain sehingga kita bisa saling merindukan dan saling percaya.

Lihat apa lagi yang terjadi di bumi ini. Ini ulahmu! Aku tertawa geli. Banyak orang orang yang berkumpul di dekatku hanya untuk menyaksikan bagaimana rembulan ini selalu mengikutiku ke manapun, ada yang mencoba melompat-lompat untuk memeluknya, ada beberapa anak kecil  yang mencoba mencungkil kulitnya dengan tongkat bambu, dan banyak yang mencoba mengabadikannya lewat tustel. Kejadian ini berlangsung setiap hari. Pagi, siang, sore, malam. Banyak orang asing yang berkunjung ke rumahku untuk bertanya-tanya bagaimana bisa aku memiliki rembulan ini terparkir di langit tepat di atas atap rumahku. Bahkan ada yang sampai meminta izin untuk naik ke atas loteng untuk menikmatinya lebih jelas.  Hanya dalam hitungan hari hampir seisi bumi ini digemparkan oleh kedatangan rembulan ini. Wartawan-wartawan dari Moskow, Cordoba, Roma, dan lain-lainnya datang untuk menanyakan secara langsung mengapa rembulan ini selalu abadi hingga hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan.

Aku jawab saja,”karena cinta.”

Di malam hari, ketika semua orang tertidur lelap dan tidak memedulikan kehadiran rembulanmu, giliran aku yang naik ke atas loteng, berdiri di ujungnya sambil memejamkan mata, merasakan setiap getaran yang meresap dari kulit lembutnya menuju celah-celah di tubuhku. Kubuka kedua bola mataku, lalu kupandang lekat semburat cahaya keemasan itu merambat melalui retina dan mengirimkannya perlahan ke lubuk hati. Kusentuh kulitnyadengan ujung jari, pelan-pelan dari atas ke bawah. Oh rembulan.....ucapku lirih.

Aku tak bisa lagi menuliskan perasaanku betapa aku kagum mengetahui bahwa kamu sangat lihai dalam mengerjai rindu; membuatnya lebih terkemas dengan kemasan yang menarik dan dengan cara yang tak akan pernah bisa dicontek orang. Dan itu sudah terlalu cukup untuk tidak lagi bertanya apakah kamu mencintaiku atau tidak. Aku percaya. Aku selalu percaya. Dari dulu aku selalu percaya.

Aku bertanya padamu apalah alasan aku harus mempercayaimu. Beri saja aku dua alasan. Ah, baiklah, tiga. Supaya aku lebih yakin. Ini bisa dijawab dengan mudah, katamu, lantas berkata bahwa satu alasan saja sudah cukup.

“Aku setia,” jawabmu santai. Itulah satu alasannya.

“Sekarang beri aku bukti.”

“Rembulan itu..... Masih di sana, bukan?”

Ya, memang. Rembulan itu memang selalu di sana. Sayangnya, itu satu tahun yang lalu.
Aku menunggumu berbulan-bulan hingga kering tubuhku dihadang rindu yang tak pernah ada lagi balasannya. Lebih parah dari itu, terkoyak habis semua tubuhku dari mulai daging hingga belulang digerogoti waktu yang semakin tak punya jawaban atas kehadiranmu. Aku tak bisa lagi bernafas dengan bebas; udara itu sudah kupakai hanya untuk menunggumu sambil menahan tangis. 

Jangan menangis. Di rembulan tidak ada air karena kalau ada, nanti keindahannya bisa-bisa luntur. Begitu katamu. Ini tidak akan lama,aku janji, begitu katamu. Namun aku tetap saja menangis.

Dan aku harus menerima kenyataan yang kukutuk sumpahi tak ingin kualami sampai wafat: rembulan itu kini terpotong setengah bagian. Ketika kuraba permukaannya yang lembut berubah menjadi peyot, makin terkikis dari hari ke hari. Dalam hal ini, aku tak akan pernah membiarkannya habis jadi kikisan. Aku mengumpulkan pasir halus di pantai, kemudian mencoba meratakannya ke tubuh rembulan itu. Tak lupa juga  rutin setiap pagi hingga matahari tenggelam aku berjalan ke arah  di mana matahari terbit sehingga rembulan itu bisa mengikutiku untuk mendapatkan cahaya matahari. Cahaya bulan itu kini semakin redup dan perlahan mega emas itu melempem sekaligus temaram. Aku tak tahu lagi apa yang aku harus lakukan selain merawatnya agar tidak terkikis habis. Aku tak akan pernah bisa memaafkan diriku jika bingkisan terindah ini hilang. Aku tak punya apa-apa lagi untuk merasakan kehadiranmu.

Namun, aku terus menulis surat untukmu walaupun tidak pernah ada balasan. Pikiranku melenceng ke sana-sini; kamu tertabrak pesawat jet dalam perjalananmu ke bumi, kamu diculik oleh alien dari planet Mars, atau kamu tertabrak Sabuk Kuiper lalu terpental jauh hingga masuk black hole. Semakin banyak pikiran-pikiran itu menyesaki ruang di otakku, semakin gusar hatiku ini. Sambil menulis surat selalu kutengok rembulan itu dari jendela. Semakin temaram hingga cahaya keemasan itu semakin karatan. Tapi aku selalu percaya, selama rembulan itu masih ada, kamu akan selalu mencintaiku.

Bahkan jika rembulan itu harus lenyap dari langit, aku masih tetap percaya bahwa kamu masih mencintaiku.

Dan malam ini, tepat malam ini, aku menyaksikan lewat ekor mataku sendiri, rembulan itu lenyap secara utuh. Tak ada yang tersisa secuil partikel pun di atas sana, hanya hamparan luas langit malam yang gelap dan polos. Aku bahkan tak sempat menonton proses pengikisannya dalam gerakan slow motion.  Sementara dunia kembali digemparkan dengan berita bahwa rembulan telanjang bulat dan semburat keemasan yang paling indah di muka bumi ini hilang tiba-tiba, aku hanya bisa mengunci diri di dalam rumah dan duduk jadi patung di depan perapian. Banyak orang-orang bergumul di luar untuk membuktikan secara langsung bahwa rembulan favorit mereka hilang dari ufuk langit. Aku, secara diam-diam, bagaimanapun juga,ingin sekali membuktikan mengapa rembulan itu hilang seraya dengan ketidakhdiran kabar darimu. 
Namun sampai kapan pun aku percaya kamu pasti akan pulang. Rembulan itu hilang bukan karena kamu tidak mencintaiku lagi. Mungkin ia harus diganti dengan yang baru, masa berlakunya sudah  habis, sudah kadaluwarsa, atau harus diisi ulang. Aku percaya bahwa kamu pasti akan membingkiskan aku lagi rembulan yang serupa. Dan yang paling penting adalah, aku percaya bahwa cinta itu tak akan temaram, peyot, dan terkikis bersama malam.

Seorang wartawan mengetuk-ketuk pintu rumahku yang sengaja kukunci paling rapat. Aku tak menjawab apalagi membukakan pintu untuknya.

Mbak, bagaimana bisa rembulan itu hilang?”

Mbak, jawab! Apa karena cinta?”

Esok malam, rembulan itu datang lagi ke ufuk langit dengan wujud yang sama seperti setahun yang lalu, dengan cahaya mega yang semburat tanpa temaram serta wujud bulat sempurna yang menenangkan jiwa. Ya, orang-orang berkerumun seperti setahun lalu. Cahaya kamera kelap-kelip, mereka berebut untuk foto bersama. “Giliranku, giliranku!” Anak-anak berebut untuk mencungkilnya dengan tongkat bambu. “Ini buat hiasan pintu.” Ibu-ibu pun memasukan cahayanya ke dalam kantung plastik dan mengikatnya kuat-kuat. “Yang ini lampu paling terang. Kita tak usah pake lilin lagi.” Bahkan sekarang profesor-profesor pintar berusaha mengabil sampel cahayanya untuk diteliti. Hasil penelitian mereka merumuskan bahwa rembulan itu adalah rembulan cinta.

Mereka kelihatan bahagia melihat rembulan itu menggantung lagi di sana dengan bentuk paling sempurna, persis seperti setahun yang lalu. Tanpa cacat. “Yang ini, sih, pasti dari Padang Rembulan lagi,” ucap salah satu bapak-bapak sambil mengelus-elus permukaan rembulan itu.

Sayangnya, rembulan sudah bukan lagi hal yang paling kusukai di dunia.

Lagipula rembulan itu tidak lagi berdiam di depan rumahku dan tidak mengikuti ke manapun aku pergi. Ada satu aku yang baru di tengah kerumunan itu. Lantas, aku ingat satu hal. Rembulan tunggal, katamu.

Puisi Singkat Tentang Topeng

di jalanan orang-orang pada pakai topeng
bergumul dan obrol masing-masing. 
padahal saling memakan, saling kupas daging
tapi mereka tetap saja haha hihi haha hihi
tidak merasa linu atau geli

semua beda kalau pakai topeng. hati saja tidak kenal wajah sendiri.
kepala mana kenal otak sendiri.
bahkan di tepi jalanan itu, dijual topeng-topengan oleh para penjaja
sepuluhribu satu, limabelas dua! murah, Buk, murah.
semua sudah pada punya.  Mosok kamu belum punya?

semua bilang suka, semua bilang ayo, semua bilang siap
semua bilang cinta, semua bilang lawan, semua bilang ikhlas
semua bilang redo, semua bilang takut, semua bilang jujur
semua bilang tahik, semua bilang biji kelamin, semua bilang jancuk
semua bilang aaaah, semua bilang iiiih
semua bilang a i u e o, semua bilang wok wok wok wok
semua angguk, semua geleng.

Semua terasa seperti irama nina bobok di balik topeng itu. Bikin ngantuk.
dan muka kami tidak sedang mengantuk, kami pura-pura tidak ngantuk
kan pakai topeng
karena kita sudah hafal apa artinya kata-kata jika kita sama-sama pakai topeng
yang dijual sepuluhribu satu, limabelas dua! di seberang jalan itu.

aku memilih minum kopi saja.

Bardjan. September 2013.
mungkin pakai topeng juga


Selasa, 10 September 2013

(Belajar) Menulis

Bahkan ketika saya mulai menulis ini, saya berpikir setengah mati; apa yang sebenarnya lagi saya lakukan? Saya tak pernah sangka bakal menulis lagi, mendengar bunyi ketak-ketik ketak-ketik dengan irama yang sepertinya sudah lama diserap angin bulan lalu.

Sudah lama menanti saat-saat serupa ini di mana saya bisa merefleksikan kata per kata yang sudah lama antre di dalam kepala. Alamak! Apa kata saya barusan? 'Kata-kata yang antre dalam kepala?' Kalau boleh tahu, memangnya isi kepala saya apa? Terakhir saya rogoh-rogoh isi kepala, kosong. Tidak ada kata-kata apa-apa di sana. Dulu pernah sempat banyak kata-kata yang bikin sesak kepala, kemudian saya biarkan saja sampai tersumbat dan membangkai di sana. Padahal, sering saya berjanji bahwa saya akan menuangkan mereka ke tempat yang lebih layak seperti di kertas ini. Dituangkan begitu saja, dilepas ke alam liar bernama kertas. Saya tidak butuh mata-mata yang lain untuk membaca, sebenarnya. Dibaca atau tidak dibaca oleh mata orang lain tidak ada pengaruh apapun bagi saya, karena tujuan utama saya menulis ialah membebaskan isi kepala yang njlimet, yang kadang tak pernah berdamai dengan hiruk-pikuk emosi.

Membahasakan tulisan agar bisa 'diraba' maknanya oleh pembaca merupakan salah satu tantangan menulis. Ada yang menjadikan itu sebagai tugas utama: "Pokoknya pembaca harus bisa mengerti apa yang kita tulis dan dapat terbawa hatinya melalui tulisan-tulisan kita." Tapi, itu artinya kita jadi budak, bukan? Selama ini kita dijadikan pembokat oleh para pembaca, maka dari itu terciptalah aturan-aturan untuk menulis agar menarik dan menyentuh hati pembaca dan supaya tidak ngelantur ke mana-mana. Jangan lupa juga perhatikan kaidah penulisan dan kebahasaan. Ejaan harus benar. Bahasa harus baku dan sopan. Kalau bisa bubuhkan istilah-istilah ilmiah supaya inteleknya kelihatan. Atau, kalau bisa jangan ngarang fiksi imajiner melulu. Bahas isu-isu politik biar kelihatan kritis, dan sebagainya. Persetan! Seperti budak yang dikerangkeng saja. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa saya enggan belajar nulis, karena saya sadar saya belum mapan secara intelektual untuk menghadirkan satu tulisan yang mahal dan berkualitas, ditambah lagi saya benci segala hal yang berwangi keilmiahan. Untuk singkatnya, katakan saja saya ini pemalas, tapi ber-alibi ini itu supaya malasnya ketutupan. Haha! Tapi, sekali lagi, tulis-menulis itu seharusnya dijadikan ruang personal yang memang dipenuhi semata-mata hanya untuk menyalurkan nafsu kita, yang nantinya kepuasan itu cuma untuk diri sendiri saja, bukan untuk memuaskan orang lain. Kita bukan buruh maupun budak yang kerjanya melayani majikan dengan tulisan-tulisan kita.

Mungkin mengapa saya berani berkata seperti ini ialah karena saya tidak cakap menulis ilmiah. Ya, benar. Anda tidak salah terka. Saya memilih menulis yang non-ilmiah karena saya merasa bisa lari-lari secara bebas dan liar tanpa harus diikat mati dengan aturan ini itu. Basi. Untuk itu saya suka berpuisi atau menulis cerita fiksi, walaupun akhirnya bakal diabaikan dan jatuh jadi kertas busuk di tempat sampah. Sekali lagi, saya menulis untuk diri saya sendiri. Masa bodoh cungur orang mau berkata apa.
Dengan ini, bukan berarti saya mencemooh tulisan-tulisan ilmiah, apalagi mencemooh penulis ilmiah. Justru, saya kagum dengan mereka. Mereka mampu menulis untuk hajat hidup orang banyak, di mana dari tulisan-tulisan mereka lahir wawasan yang turun-temurun diwariskan dari satu pembaca ke pembaca lain, sehingga akhirnya berkembangbiak menjadi wawasan baru. Sirkular. Hingga akhirnya kita kaya akan informasi dan pengetahuan. Yang paling bikin dengki dari penulis ilmiah ialah, setahu saya mereka mampu menempatkan diri mereka pada dua koridor yang berbeda: menulis ilmiah dan non-ilmiah. Mereka bisa menjadi anak manis yang taat pada aturan, tetapi kadang bisa tidak tahu aturan. Mereka bisa keluar-masuk penjara seenaknya dalam menulis, misalnya, pagi hari mereka ngetik makalah tentang kenaikan harga kedelai dan malam harinya mereka menulis prosa tentang hatinya yang sepi.

Dalam hal ini, dari dulu kala saya sudah bisa menyimpulkan: saya tidak suka dipenjara ketika menulis. Untuk itu, saya memilih menulis yang gini-gini saja, kadang nonsens untuk disebut sebuah karangan. Yang penting bebas.
Saya tidak terlahir untuk jadi penulis. Mungkin kalian juga tidak. Hey, memang kalian mau tinggal di dunia yang isinya penulis semua? Setidaknya, kita bisa menulis. Apapun. Apapun yang ingin kita tulis, ya tinggal tulis saja. Tak usah ragu. "DASAR TOLOL!" Upss, apa yang barusan saya tulis? Apa saja, yang penting itulah yang ingin kita tulis. Walau kemampuan menulis saya hanya setaraf menulis surat cinta ecek-ecek untuk kekasih, atau hanya puisi cengeng yang kerjanya memetaforakan senja, bintang, atau benda langit lainnya, saya tetap masa bodoh. Semua dilakukan atas landasan saya suka menulis itu. Masalah apabila orang yang membaca akan suka atau tidak, itu urusan belakangan.

Kembali lagi ke kasus yang paling, paling awal: ini adalah pertama kalinya saya menulis lagi. Teman saya sempat bertanya mengapa saya tidak menulis lagi, entah itu sastra yang bentuknya puisi maupun cerita pendek. Saya hanya bisa jawab: "Tinta saya sudah habis." Entah mengapa saya melontarkan jawaban macam itu, saya tidak pernah mengerti sampai sekarang. Dulu saya ingat pernah cerewet menulis ini-itu. Saya pun kaget ketika mengingat beberapa bulan ke belakang saya masih suka menulis beberapa puisi dan fiksi (mungkin saat itu tinta saya masih deras seperti air terjun.) Tapi, satu yang paling bikin saya linglung sendiri, mengapa saya harus berkata bahwa tinta saya telah habis? Memang, tinta di sini itu artinya apa? Dari mana keluarnya? Habis-nya kenapa? Saya sendiri tidak menangkap makna dari apa yang saya katakan. Tetapi, apapun alasannya, seharusnya saya harus bisa mulai menulis lagi walaupun rasa malas ini tidak bisa diremehkan. Kurang lebih, satu bulan sekali atau dua minggu sekali. Saya ini pemalas ulung, kerjanya melamun terus. Tapi, sekali lagi saya mau mencoba untuk belajar menulis. Saya tidak boleh beralasan bahwa tinta saya habis. Bukankah kita bisa beli tinta baru?