Jumat, 18 April 2014

Sukurin

tuh kan, rasain
apa kubilang

mereka nyerah
mereka bilang terserah
soalnya kau tolol tak mau ngalah
pada apa yang salah

dableg susah dibilang
dada ditata tapi kepala ditaruh di selangkang
jadi jangan marah kalau mereka sukur-sukurin kau
makan tuh

nah loh nah loh
anak orang ditangisin

(Sengaja) Tidak Bisa Bangun Dari Mimpi

Bangun. Sudah siang
Sudah kesiangan, bahkan
mimpi panjang tiada kesudahan

kamulah pegang kuasa mimpimu sendiri
yang bisa sudahi ini mimpi dengan melek
tapi kamu melulu menolak melek
melupa akan mana nyata dan mana mimpi
asyik sendiri
nikmati panorama alam mimpi sambil neguk teh atau kopi.
asyik sendiri
khidmati mimpi sambil lari-lari, nyanyi-nyanyi. Sepenuh hati
Yailah, mati

Berrmalam-malam kamu bermimpi
tanpa mengiba pada diri
yang sudah keenakan melesat menjauhi apa yang nyata
pura-pura lupa cara buka mata
Pura-pura nyenyak
Boro-boro nyenyak. Gelisah sebadan-badan yang ada
tapi keasyikanlah kamu melebur mimpi ke dalam nyata
keasyikan main terbang-terbangan tanpa lihat ke bawah
keasyikan main kejar-kejaran tanpa lihat ke belakang
Yailah, bunuh diri

sudah disentak berkali-kali. Bangun
waktumu bermimpi sudah habis dari kapan tahu
tapi kamu lagi-lagi sengaja pikun
sengaja melengos ketika semua yang di antaramu berbaik hati untuk membangunkan
bahkan senja kesukaanmu datang ke langit,
lalu masuk lewat jendela kamarmu. menyibak kilaunya yang jingga emas
menggodamu mesra
Tapi kelihatan jelek si senja itu sehingga menampiklah kamu untuk terjaga
yang di mimpi lebih bagus, gumammu sambil tidur

Siapa punya digdaya untuk menarikmu ke dalam kenyataaan? Tidak ada
Namun siapalah yang tega membiarkanmu keenakan ngimpi
selamanya ngimpi
Tua di mimpi. Dirayu-rayu mimpi
Dibuai-buai mimpi
Dimain-mainkan mimpi. Ditimang-timang mimpi
Dielus-elus mimpi
Dipuaskan mimpi. Diperkosa mimpi
Ditikam mimpi
Tuh kan! Tuh kan!
Sukurin

Senja yang bagus ya, Sayangku
Kamu mengigau dalam tidur

Rabu, 16 April 2014

Bulan Si Pecundang

Tidak pernah malam memecundangi saya sehina ini
Bahkan udara dinginnya mencemooh diri hingga
menggigil dan meringkuk dalam kosong. Sekosong langit di atas kepala
Bulan yang katanya bulat telanjang di tubuh langit sana, yang besarnya tidak bisa
dikira-kira, turun ke daratan malam ini. Tepat ketika saya
sedang mencemong-cemongi muka sendiri dengan senyum yang sudah koyak
sementara si bulan itu semena-mena turun dan main hinggap saja di bahu
dipikul saya ke sana ke mari sesuai perintah waktu
yang terus bergulir tak mau kenal ampun
Tidak boleh takut. Sebab takut hanya milik bocah-bocah
Tidak boleh salah. Sebab salah artinya
pecundang.
Makin pecundang.
Makin berjarak dengan menang
Makin berat si bulan di pundak, sebab membesarlah ia kini
menjadi sangat besar sebesar kepengecutan diri sendiri
Sebesar kekalahan diri sendiri

Rabu, 09 April 2014

Mediocrity

Kependekan diomong dangkal
Kepanjangan diomong basabasi
Kedikitan diomong miskin
Kebanyakan diomong maruk
Kemudaan diomong sotoy
Ketuaan diomong kuno
Kebebasan diomong liar
Keterbatasan diomong penjara
Kebaikan diomong ngejilat
Kejahatan diomong haram jadah
Kegenitan diomong pecun
Keluguan diomong sok bersih
Keaslian diomong palsu
Kepalsuan disumpahserapahi
Kebencian diomong tercela
Kecintaan diomong nafsuan
Kepintaran diomong hoki
Kebodohan diinjak-injak
Kesiangan diamuk-amuk
Kepagian diejek-ejek
Ketulusan disuudzoni
Keterpaksaan diomong tega

Kekurangan diomong kurang pula. Sekalinya kelebihan,
eh berlebihan.
Sekalinya di tengah-tengah, eh
masih kurang, toh



Kepada Bung

Bung, hampir saya lupa warna langit. Untunglah kau paksa saya ke luar rumah
hari itu.
Kelampau lama saya meringkuk kusam di dalam bilik menunggu mampus
sebab orang boleh ngomong warna langit,
namun tiada pernah saya naruh percaya sedikit
kapok dicundangi

Terima kasih sudah sedia ajak saya mengenal lelangitan, berikut warnanya yang
kebiruan, keemasan, keperakan, kadang kemerahan,
kadang warnanya menyerupai mimpi, Bung
Persis Bung.

Tetapi, Bung, jika suatu hari saya kembali melupa akan warna langit,
tak usahlah Bung ingatkan saya lagi.

Sabtu, 05 April 2014

Gerbong

Pada gerbong tidak ada isyaratmu yang sia-sia. Malam itu
tak ada kata yang betah bermalam di kepala meski tanpa diucap
semua menyeruak dalam diam seperti berdoa. Pertapaan ritual malam
dalam kepulangan ke rumah dari kampus perjuangan

Pemandangan malam tak mesti kaulekati dari balik jendela sebab kacanya terlalu pekat hingga membayang rupa badan sendiri, berikut lusuh muka sendiri
namun pada gerbong di malam hari bukan pohonan, bangunan, maupun rerumahan yang
harus direnungi. melainkan apa-apa yang tidak kelihatan di hari ini
bukan lingkar rutinitas yang rapi distruktur jadwal, melainkan apa-apa yang maya
yang rupa dan segala detilnya hanya bisa didikte dua: dada dan kepala.
— dada yang mengalahkan kepala, lebih tepatnya.
Amuk hati yang dipaksa jinak. Keluh yang ditahan mundur. Tangis yang mengintip malu-malu dari ujung ekor mata. Atau mengenai logika yang disunat oleh hati yang cengeng tetapi sadis,
sebab hati selalu membuat pincang otak kita sehingga kita rela berlemah-lemah menerima
apa yang seharusnya tak kita berhak.

Dalam gerbong di malam itu, pikiran melulu soal sedih-sedihan. Soal sesal-sesalan.
Kecamuk perasaan yang lajunya sekuat laju kereta yang menggesek berdecitan dengan rel,
pun tidak berangsur lemah serupa kereta yang mengerem perlahan sebelum berhenti di stasiun.
Orang-orang turun digantikan orang naik, namun kamu tidak peduli adakah diantara mereka yang
mencolok perhatianmu.
Sebab mereka bisa jadi sebangsamu; bertapa dalam gerbong. Berdoa pada gerbong.
Sembahyang dalam gerbong. Tidak mau diusik.

Gerbong di malam hari menjelma jadi kotak kontemplasi, dilatari desing suara kereta,
dibekukan pendingin udara, dihempas oleh rem mendadak masinis,
dibuai kantuk ketika kebagian tempat duduk
terlepas dari kebagian duduk atau berdiri, apalah yang kuasa mengusik apa yang terjadi di dalam?
Dada dan kepala — dada yang mengalahkan kepala, lebih tepatnya,
tidak pernah seganas ini pada gerbong di malam hari.

Kamis, 03 April 2014

Nak

nak sudah dinasihati dari mula, jangan coba-coba main yang begitu. nak kalau mau main yang dekat-dekat saja, yang aman-aman saja. daripada nanti nak makan daging sendiri. nak sudah janji waktu itu nak tak mau kelamaan main jauh dari rumah nak. nak janji akan pulang tepat waktu ke rumah walaupun nak sudah kelamaan main di sana.
tapi nak sekarang bukan hanya kelamaan main, tetapi nak sudah kelewatan main. nak sudah keenakan. nak sudah keranjingan. nak sudah kecandu secandu-candunya candu.
nak sudahlah pulang nak, mengibalah kepada nak. nak jangan pura-pura lupa apa yang sudah menimpa nak pada saat itu. nak dikoyak-koyak dagingnya. nak dikunyah-kunyah akal sehatnya. nak dibanting ke tanah sehingga megaduh keluh luka-luka, lebam-lebam, tetapi laki kesukaan nak ternyata hatinya sesampai itu. sekarang nak mau balik lagi mencari kematisurian? nak mau menjelalajah balik ke waktu di mana nak pernah mabuk sempoyongan dan mencoba mengelabui waktu ajal? nak mau telanjang-telanjangan hatinya sementara kepala nak dilempari bebatuan oleh logika nak sendiri? nak hendak setega itu kepada nak yang jalan hidupnya masih disimpan Yang Esa di balik gumpal awan di mana nak baru saja meniti tangga baru untuk memanjat sampai ke langitnya?

nak boleh jatuh cinta. siapa yang punya digdaya untuk larang? jancuk kalau ada yang larang nak jatuh cinta. jatuh cinta itu asyik, seasyik nak yang kalau lagi membayangkan bisa jalan berdua sepanjang hari dengan laki yang nak impikan. nak menyebut ia sebagai mimpi, kan? nak menyebut laki itu mimpi yang tak pernah tidur, kan? mimpi yang benar-benar mampu dirasa tanpa harus tidur. mimpi yang rasanya kemimpian tetapi sebenarnya nak sedang sadar di kenyataan. nak menyebut ia laki yang lengkap sesuai apa yang nak citakan dari dulu, bahkan melampaui apa yang nak pernah mau. nak jatuh cinta, nak. nak masih saja coba-coba mengelak, padahal nak sudah menelanjangi diri nak di hadapan semua orang hingga nak tidak bisa lagi sembunyi dari perasaan nak sendiri. kemudian nak berkata, "sumpah, saya tidak pakai hati. saya tidak siap mati lagi. saya sudah mati kemarin. masa iya saya mau cari maut lagi?" klasik, nak. tahi babi!. kemudian nak berkilah lagi, "sungguh saya tidak cinta. saya sama sekali tidak cinta!"
persetan!

seperti yang saya bilang tadi, nak boleh jatuh cinta. tapi jangan kepeleset jatuh sedalam ini, nak. belum, nak. belum saatnya. santai saja dulu, nak. jangan main-main yang bahaya, nak. nak masih sakit. nak masih rentan untuk jatuh ke pesakitan lagi. nak baru saja cuci luka. lukanya belum kering, nak. jangan main terlalu keras lagi, nak. santai. biarlah perasaan nak mengalir tanpa harus didorong oleh kebutaan hati nak sendiri. sebab jika memang si laki itu jatuh cinta, pasti ia nanti akan jatuh cinta juga. tanpa dipaksa. tanpa diberi alasan. maka dari itu, pulanglah ke rumah, nak. sebab suatu hari nak akan menyesal tidak matuhi saya, atau mungkin nak berterima kasih karena sudah matuhi saya.

sebab, nak, 
ketika nak nanti mati lagi, yang salah bukan laki itu. tapi nak.