Senin, 11 Januari 2016

Api

“Mari mulai bicara.”

“Bicara tentang apaan?”

Sedari tadi, sepasang kekasih itu memaku perbincangannya pada satu titik: bicara tentang apaan? Sebab  dari berpuluh menit pertemuan yang telah mereka lalui, mereka tidak berhasil membuat obrolan yang mulus yang dapat bergulir dengan ritmik dan menyenangkan. Semua hanya basi-basian.

“Kalau hanya small talks, di chat saja, tho?” tanya si lelaki, beberapa detik setelah ia menyeruput secangkir kopi untuk yang kesekian kalinya sebagai penghilang suntuk yang ia ciptakan sendiri dengan wanita itu. Lebih tepatnya, menyeruput kopi hanyalah manuever buatan si lelaki itu untuk menutupi ketidaknyamanannya berada di dekat si perempuan.

Di seberang kursinya, si perempuan mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di meja. Ia membakar ujungnya dengan zippo-nya. Selagi membakarnya, si perempuan itu menghisapnya pelan-pelan, menyaksikan dengan khusyuk bagaimana api dari korek itu membakar hingga bara-bara api itu menyala di bagian ujungnya.

“Mari kita berbicara tentang api,” kata si perempuan setelah ia menghempaskan asap rokok itu melalui bibirnya yang kering.

“Api? Api apa?”

“Apinya meredup. Apimu. Api di matamu.”

“Begini, Nona. Banyak hal yang harus saya lakukan. Kalau kamu boleh tahu, berbicara dengan analogi seperti yang sedang kamu lakukan sekarang, bukanlah suatu hal yang praktis dan menghemat waktu sebab saya harus mengupas maknanya terlebih dahulu. Hal yang demikian itu lebih memerlukan banyak waktu.”

Geli. Si perempuan yang sedang menghisap rokok itu buru-buru melepaskan hisapannya saking gelinya ia ingin tertawa. Kemudian, ia tertawa kecil. Kepul asap berhamburan satu-satu dari mulutnya ketika ia tertawa.

“Dulu ya, Mas. Dulu, kamu suka sekali dengan analogi. Bahkan, kamu tidak perlu, tuh, yang namanya sok-sok nyeruput kopi terus. Dulu cangkir minuman kita awet banget habisnya.”

Lelaki itu tidak merespon apa-apa.

“Dulu kita ngobrolin apa aja, Mas. We even talked about nothing, or something. Something about nothingness. Nonsense. Tapi kita menikmatinya.”

Seraya menundukkan kepalanya, lelaki itu menyadari betapa sangat dulu ‘dulu’ yang dimaksud oleh perempuan itu. Saking dulunya si ‘dulu’ itu, saking sudah lupa diingat kapan persisinya terakhir kali ‘dulu’ yang dimaksud perempuan itu. Tapi bagi si wanita, dulu itu baru saja kemarin-kemarin, tepatnya seminggu yang lalu, ketika api yang dimaksudkan si perempuan tadi itu kian lama nyalanya kian redup, tidak lagi menyalak terang seperti biasanya.

“Saya minta maaf, tapi saya benar-benar banyak kerjaan.”

“Apa itu penting? Lebih penting mana sama saya?” Perempuan itu memanja.

“Lebih penting kerjaan saya.”

Tiba-tiba malam itu jadi tak bernyawa bagi si perempuan. Si perempuan menaruh sebatang rokonya pada bibir asbak. Seketika nafasnya megap-megap kewalahan untuk melanjutkan hisapan rokoknya.

“Apa kabarnya dia?” tanya si perempuan.

“Tidak pernah dia sebaik ini.” Si lelaki mengatakannya dengan sedikit senyuman di bibirnya. Walaupun sedikit, sudah cukup membuat nafas wanita itu semakin megap-megap. Sudah seminggu lamanya, dari mulai minggu lalu hingga barusan, inilah kali pertama ia melihat wajah si lelaki itu begitu merona. Bangsat, kutuk si perempuan.

“Bangsat!”

“Kamu suruh saya temuin kamu cuma untuk dibangsat-bangsatin?”

“Kamu lagi bahagia, Mas. Anjing!” Tenggorokannya kini gatal, dan gatalnya menyeruak sampai ke hidung. Matanya mulai geli dengan air mata. Beberapa detik ke depan, ia sudah tidak dapat lagi menahan air matanya.

“Jangan nangis di sini, dong. Lihat, tuh, orang-orang pada lihat.” Pengunjung kafe hadir dalam hitungan jari pada malam itu, dan setiap dari mereka dengan berhati-hati mencoba melihat ke arah si lelaki dan perempuan, meskipun hanya sekejap. Beberapa dari mereka curi-curi pandang penasaran.
Si perempuan itu kini menangis sambil mengumamkan beberapa jenis serapah.

“Baiklah, mari kita berbicara tentang api. Api saya. Api di mata saya. Nih, lihat, nih, mata saya, nih. Dengarkan, tapi jangan sambil nangis. Deal?” Si lelaki mencoba menenangkan tangisan si perempuan yang makin sejadinya.

Akhirnya ia bercerita mengenai api. Api yang meredup. Api yang akhirnya padam pada malam itu. Pembicaraan mengenai api itu menghabiskan beberapa batang rokok untuk dibakar oleh si perempuan. Pun si lelaki sama sekali lupa untuk meneguk kopinya. Pembicaraan tentang api itu adalah pembicaraan yang terakhir, sekaligus pertemuan terakhir antara si lelaki dan si perempuan.

“Maaf.” Itulah yang terakhir diucapkan oleh si lelaki. Perempuan itu berdiri dari kursinya, lalu pergi.

Di bibir asbak, api pada ujung batang rokok si perempuan belum juga padam. Ini batang kelima malam ini. Untungnya, api di matanya sudah padam.

Belum.

Setidaknya, mulai meredup pelan-pelan.