Kamis, 23 Januari 2014

Tuntutan untuk Tuan

Saya dengar Tuan jemu dipuja-puji saya melulu
Jangan begitu, Tuan. Tidak pantas Tuan begitu
Coba sesekali Tuan jadi serupa saya. Sesekali saja
Agar Tuan melek juga betapa saya merasa kemimpi-mimpian saat mandang Tuan

Saya dengar Tuan ngeluh dipuja-puji saya melulu
Jangan begitu, Tuan. Tidak punya hak Tuan begitu
Coba sesekali  Tuan menjelma saya. Satu malam saja
Agar Tuan sadar juga betapa saya tidak punya kendali apa-apa saat Tuan main hadir di depan mata
mata itu Tuan, kalau Tuan belum tahu, selalu membuat saya hina ketika Tuan mandang saya
Saya bilang, sudahi dulu pandang-pandangannya.
Tuan sudah kelewatan.

Adakah Tuan tidak malu saat ditanya,
mengapa sang rembulan bulat keperakan yang memegahi malam itu sudi untuk bersanding dengan gumpalan awan hitam yang tidak pernah disambut kedatangannya?




Jumat, 17 Januari 2014

Ia Datang Kala Hujan


Ia datang seenaknya ketika hujan. Tidak pernah meminta maaf ketika ia
sembarangan main hapus bekas langkah kaki saya yang sudah berjalan jauh
meninggalkan tubuhnya. Dan saya meniti lagi dari mula.

Ia datang seenaknya ketika hujan. Dengan tidak tahu diri ia kembali menghidupkan rasa lapar kami akan kenangan masa itu, dan menyeruakkan aroma kesukaan kami setelahnya
Tapi hilang lagi. Tapi nanti datang lagi
Begitu terus hingga ujungnya mati

Ia datang sembarangan kala hujan
Sambil membawa batu-batu es lalu berkata,
“coba tebak, ini hujan yang dibekukan atau airmata yang dibekukan?”


Kalau kata Anda?



Pahlawan Kami


PAHLAWAN KAMI

“Pagi ini televisi menyiarkan iklan kesukaan kami lagi. Mengenai pahlawan-pahwalan kami yang dipercayai dapat menyelamatkan kami dari perut lapar, menyuplai beras dan kebutuhan kami lainnya cuma-cuma. Tidak lupa juga pahlawan-pahlawan kami bakal membayar uang untuk susu-susu para bayi kurus di kampung sini, membebaskan uang sekolah, membeli sepatu dan seragam baru untuk si Budi, membangunkan rumah-rumah dan sekolah-sekolah yang lebih bagus pula. Oh ya, saya pun masih ingat, mereka bahkan berniat mensejahterakan petani. Ayah saya petani, kebetulan.

Sudah, jangan berburuk sangka dulu kepada pahlawan-pahwalan kami. Mereka orangnya baik, jujur, dermawan, pasti mau turun berbaur dengan para warga di kampung kami, dan bersenda gurau dengan kami sambil minum kopi hitam. Sudah lama kami merindukan orang seperti itu.

Tidak. Mereka tidak akan korupsi. Mereka bilang begitu. Mereka bukan orang picik. Kalian saja mungkin yang kerjaannya suudzon melulu. Tentu kami yakin. Begitu yang mereka lakukan di acara televisi setiap pagi. Bukan hanya pagi. Siang sore malam juga. Ya, mereka berbicara di atas panggung. Di hadapan orang-orang macam kami dan senasib pula dengan kami. Saya tahu merekalah jawaban yang dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkan kami. Merekalah pahlawan kami.
Setidaknya itu yang kami lihat di televisi. Diatayangkan setiap hari. Di sela-sela acara sinetron, acara komedi, dan acara musik favorit kami. Pagi siang sore malam.”





Jumat, 03 Januari 2014

Senja yang Marah


Hari ini senja datang kepada saya sambil marah-marah. Matanya melotot. Bukan hanya menyiratkan rasa sebal yang minta ampun, tetapi juga kekecewaan. Ia menubruk langit di atas atap rumah saya tiba-tiba tanpa permisi, padahal masih pukul satu siang pada saat itu. Alhasil, hanya langit bagian rumah saya saja yang berlatar senja, lengkap dengan bola matahri jingga dan langit keemasan yang teduh. Di langit bagian luar rumah saya, hari masih terik dengan sinar matahari yang panas. Saya terkejut dengan tingkah seenaknya yang dilakukan oleh senja siang ini. Kalau saja dilihat orang, bisa-bisa rumah saya dikerumuni oleh orang-orang yang ingin menyaksikan fenomena hamparan senja di tengah siang bolong ini.

“Sudah, deh, jangan cari sensasi. Bisa-bisa halaman rumah saya penuh dengan orang-orang yang foto-foto.” Ia tidak menghiraukan kata-kata saya. Senyumnya masam.

“Kamu sudah menyalahi hukum ilmu alam. Ini masih siang. Pulanglah dulu,” kata saya lagi. Gawat, matanya melotot kembali. Lebih-lebih.

“Sopan sekali menyuruh saya pulang! Memangnya kalau saya pulang kamu bakal menemui saya?” Ia makin geram. Bahkan, ia melemparkan percikan cahaya mataharinya yang jingga keemasan. Percikan itu hangat menampar muka saya. Ia mulai main kasar, tetapi saya tidak membalas apa-apa.

Memang, sudah beberapa bulan ini saya tidak lagi mengunjungi langit senja. Bukan berarti saya di rumah terus ketika senja tiba. Hanya saja, hujan sering turun pada waktu senja tiba sehingga saya tidak dapat keluar rumah untuk bertamu kepada senja. Namun, ia tidak menerima alasan itu. Basi. Sekarang, kan, sedang musim kering. Hujan datang kadang-kadang saja saat senja. Ya, alibi saya sudah dipatahkan oleh senja itu. Ini memang musim kering, sudah beberapa minggu hujan hanya jatuh beberapa hari dalam semingu, itu pun tidak terlalu deras. Saya terlalu bodoh untuk mengeluarkan alasan itu.

“Ke mana saja kamu?” Senja itu setengah berteriak. Perangainya memang jadi keras. Saya bisa memakluminya karena memang saya tahu ia sedang merindu saya, tetapi tidak saya katakan karena pasti ia akan mengelak. Saya mengerti betul seseorang dapat berperangai di luar kendali ketika ia sedang merindu seseorang tetapi tak mampu bertemu satu sama lain. Meskipun ia bukan dikategorikan sebagai orang, tetapi kurang lebih sama rasanya.

Saya tetap diam tidak menjawab sebelum akhirnya ia kembali bertanya yang sama. ‘Ke mana saja kamu? Jawab!”

“Saya tidak ke mana-mana. Dengar, bukankah saya sering keluar rumah pada saat senja?”

“Bukan itu pertemuan saya inginkan!” kata senja.

Ya, memang bukan itulah yang dimaksud sebuah “pertemuan” olehnya. Bukan sekadar saya jalan-jalan ke luar rumah pada saat senja. Bukan sekadar ia hanya bisa melihat saya dari atas sebagai bagian dari hukum semesta: di atas bumi manusia ada hamparan langit. Tetapi, lebih dari itu. Biasanya sayalah yang sering mengunjunginya untuk menikmatinya secara detil, entah melalui jendela kamar saya, duduk di hamparan rumput, atau kadang naik ke lantai koridor kelas kampus saya yang paling atas demi dapat melihat senja secara jelas. Di sanalah akhirnya saya bisa menikmati setiap detilnya.

Belum saya jelaskan pada kalian betapa saya menyukai senja. Entah mengapa ketika melihat senja tidak ada lagi benda-benda yang dapat menandingi keindahannya. Pada waktu itu saya memang sering mengunjungi senja, bukan hanya untuk menunaikan hukum semesta bahwa dengan menengadah ke atas maka saya akan melihat langit, tetapi lebih dari itu. Saya meresapi keindahannya dari bagian ke bagian hampir setiap ujung hari. Langitnya yang jingga keemasan, bola mataharinya yang jingga semburat, pancaran sinar matahari yang satu tubuh dengan warna perpaduan langit yang dilukis Tuhan sambil tersenyum, mega-mega yang disemburkan langit serupa jingga keperak-perakan, kadang merah kejingga-jinggaan, atau biru keemas-emasan. Aaaaah... Betapa saya tidak dapat melanjutkan. Bahkan, ketika hari harus diganti dengan petang, senja memberi kesan yang menyiratkan bahwa kepergian terang bukan berarti sebuah ancaman. Betapa senja diciptakan untuk menaganlogikan berbagai keindahan-keindahan yang lainnya. Belum lagi, saya menyukai puisi. Menyukai senja dan puisi. Puisi dan senja bisa jadi satu paket senyawa yang luar biasa indahnya, kalau-kalau kalihan belum tahu.

Saya pernah berkata langsung kepada senja bahwa saya menyukainya. Pipinya sedikit berubah warna menjadi kemerahan. Ia bilang saya gombal dan sedang merayu. Mungkin saya sudah kelewatan. Hubungan saya dan senja hanya sebatas hubungan antara manusia sebagai pengagum karya Tuhannya yang bernilai estetis tinggi. Namun, sepertinya senja menanggap hubungan kami lebih dari itu.

Pernah beberapa kali ia memberikan bonus kepada saya ketika saya sedang memandanginya dari balkon rumah saya. Ia menambahkan keajaiban pada dirinya pada saat itu. Langit senja yang terhampar pada saat-saat itu merupakan perhelatan langit paling indah yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya yang dapat saya ceritakan kelak kepada anak cucu saya. Bukan hanya hamparan langit jingga dengan bola matahari keemas-emasan, ataupun pancaran mega-mega yang warnanya rupa-rupa. Saya melihat ada cahaya yang tepercik dengan letusan kecil, seperti kembang api yang bermekaran meletup-letup berkali-kali hingga percikannya menetes di kepala saya. Ada pula air terjun jingga keemasan yang mengalir dari awan-awan, dan air jingga keemasan itu mengalir membentuk gelombang-gelombang mungil seperti apa yang saya lihat di bibir pantai. Langit menjadi lautan cahaya senja. Saya kira saya sedang di langit surga saat itu. Tetapi, keajaiban itu tidak lagi terjadi semenjak saya memutuskan untuk tidak lagi mengunjungi senja.

“Ingat apa yang kamu katakan dulu? ‘Langitnya yang jingga keemasan, bola mataharinya yang jingga semburat, pancaran sinar matahari yang satu tubuh dengan warna perpaduan langit yang dilukis Tuhan sambil tersenyum, mega-mega yang disemburkan langit serupa jingga keperak-perakan, kadang merah kejingga-jinggaan, atau biru keemas-emasan. Aaaaah... Betapa saya tidak dapat melanjutkan.’” Senja mengatakannya dengan nada yang nyinyir, persis seperti apa yang pernah saya katakan saat itu dengan gaya puitis yang juga barusan ia peragakan sama persis. Saya tahu sedang bulat-bulat disindir, tetapi sekali lagi, saya memaklumi sikapnya. Saya tidak melawan. Terlebih lagi, ia menambahkan, “Nona genit yang mana yang merayunya seperti barusan?” Saya tetap diam.

“Kamu tidak akan pernah mengerti penjelasan saya.” Hanya itu tanggapan saya.

“Kamu menjelaskan saja belum,” balasnya.

“Kamu tidak bakalan ngerti. Percuma kamu datang ke sini.”

Sebelum kedatangannya hari ini, ia pernah mengunjungi saya beberapa minggu yang lalu persis seperti kemarin. Ia menentang hukum ilmu alam, datang pada saat siang bolong, menyebabkan hanya hamparan langit di rumah saya saja yang latarnya senja. Saat itu saya sedang tidak ada di rumah. Ia menunggu saya sampai malam. Saya kaget ketika saya pulang ke rumah, halaman rumah saya ramai oleh kerumunan orang-orang yang menonton langit senja di rumah saya. Tentunya fenomena ini merupakan fenomena yang langka. Senja di tengah langit malam. Kapan lagi, toh? Orang-orang itu berkumpul menyesaki halaman rumah saya. Mereka terdiri dari berbagai kalangan dan usia. Dari mulai keluarga hingga pasangan kencan. Anak-anak sampai lansia. Gelandangan sampai pejabat. Bahkan, wartawan-wartawan pers pun hadir untuk meliput fenomena langka ini. Beberapa dari mereka langsung menyerbu saya dengan pertanyaan.

“Nona, bisa Anda jelaskan bagaimana langit senja ini dapat terlihat hanya di bagian langit rumah Anda?”

“Mengapa di rumah Anda bisa ada senja sementara langit harusnya gelap gulita?”

“Apa Anda ini tukang sihir atau orang bisa?”

Saya, yang juga sama terkejutnya dengan fenomena yang baru saya lihat seumur-umur ini, tidak mampu menjelaskan apapun dengan penjelasan yang kuat dan rasional. Hanya satu kalimat yang saya katakan kepada para wartawan itu,”Tanya saja sama yang itu.”sambil menoleh mata senja. Kemudian, saya melengang masuk rumah begitu saja tanpa menyapa senja itu dengan sapaan yang hangat dan bersahabat. Saya sedang lelah, tetapi ia tidak mengerti. Saya tahu betul ia sedang mencoba menggoda saya, tetapi senja itu tidak akan pernah tahu kalau saya bukanlah lelaki yang gampang digoda. Tidak untuk kali ini. Tidak akan pernah.

Saya masuk ke kamar dan tetap bersikap cuek dengan apa yang  terjadi di luar jendela. Orang-orang masih sibuk mengabadikan peristiwa aneh bin nyata ini di pekarangan rumah saya. Tetapi, bukan itu yang senja harapkan. Senja hadir memecah langit di malam hari bukan untuk mencari sensasi. Ia tahu bahwa ia telah gagal untuk menggoda saya, sayangnya ia tetap berusaha mencari cara lain yang menggoda saya setengah mampus.

Ia menggoda saya dengan sangat indah pada malam itu, lagi-lagi dengan letup-letupan kembang api keemasan yang berpijar kelap-kelip, air terjun yang mengalir dari gumpalan awan yang aliran airnya menggenang menjadi laut jingga emas dengan gelombang-gelombang yang berhamburan tepat di depan jendela kamar saya. Sebagai tambahan, ia mempersembahkan pula kuda terbang yang menarik kereta kencana kerajaan, lengkap dengan burung-burung yang terbuat dari kelupasan langit senja. Betapa saat itu langit merupakan pagelaran mahakarya yang paling menakjubkan. Saya akhirnya tergoda juga untuk melihat ke luar jendela kamar. Orang-orang semakin heboh dan berteriak histeris.

“Ayo, turun ke sini. Lekati saya lagi. Resapi saya lagi. Peluk saya lagi. Ciumi saya lagi. Rebahi saya lagi.” Saya masih ingat senja mengatakan hal-hal itu.

Saya kaget bukan main mendengar senja bisa-bisanya berbicara seperti tadi. Saya bersumpah bahwa saya tidak pernah melakukan apa-apa dengan senja. Saya sudah katakan kepada kalian untuk kedua kalinya, atau mungkin untuk yang terakhir kalinya, hubungan saya dan senja hanya sebatas hubungan antara manusia yang menyukai langit sebagai karya Tuhan. Tidak sampai secinta dan segila itu. Tidak sampai ada kontak fisik, apalagi main peluk, cium, rebah-rebahan segala. Tidak sampai segitunya saya memaknai rasa suka saya terhadap senja.

“Saya tidak pernah berbuat begitu dengan kamu. Memikirkan saja saya tidak pernah!”

“Tapi sekarang kamu dapat melakukan apa saja dengan saya. Nikmatilah keindahan saya sesuka hati kamu, sepuas hati kamu.” Ia mecoba menggoda lagi. Percikan kembang api jingga keemasan itu menyentuh tubuh saya. Gelombang-gelombang air terjun jingga keemasan itu pun menyembur tangan saya dengan lembut.

Senja tidak mengerti bahwa saya bukan lelaki yang gampang digoda. Saya marah besar saat itu, tetapi lagi-lagi saya maklum. Saya tahu bagaimana perasaan orang yang rayuannya ditolak dan diabaikan mentah-mentah, pasti seseorang itu bakal kesal bukan main. Senja mungkin tidak dikategorikan sebagai orang, tetapi mungkin kurang lebih rasanya sama.

“Semua orang juga tahu kamu memang indah. Orang buta juga tahu. Tapi, maaf, kamu sudah kelewatan, Senja.” Saya tutup jendela kamar saya dan saya tutup pula tirainya. Saya tidak lagi berniat sedikit pun untuk menikmati senja itu lagi.

“Cewek sinting! Bajingan!” bentaknya.

Dan hari ini merupakan puncak dari pertemuan saya dengan senja.

“Sekarang katakan, kamu ke mana saja?”

“Saya tidak bisa jelaskan. Saya bilang, kamu tidak akan pernah ngerti!”

“Tapi kan kamu bilang saya indah. Kamu suka saya! Harusnya kamu datang dan ketemu saya lagi! Resapi keindahan saya lagi!”

“Tidak lagi.”

Saya melakukan hal yang sama ketika hari kemarin ia datang malam-malam tanpa izin di langit rumah saya: melengang begitu saja masuk rumah, mengunci pintu rapat-rapat, menutup dan mengunci setiap jedela rumah rapat-rapat, begitu pula dengan tirainya. Tanpa pamit. Tanpa jabat tangan. Tanpa melambai. Saya tahu ini memang tindakan yang kurang sopan. Tetapi, untuk yang sekarang, saya sudah hilanng kesabaran. Saya tidak ingin diusik oleh senja lagi. Ia sudah terlalu jauh memaknai hubungan kami. Caranya sudah kampungan. Saya makin hilang rasa suka sampai akhirnya mati rasa.

Saya kira hanya manusia saja yang diberi kesabaran. Senja itu ternyata memiliki kesabaran juga. Mulai detik itu pula, seluruh kesabaran yang dimiliki senja runtuh seketika. Kesabaran ia terhadap saya sudah mencapai ambang batasnya. Ia pergi begitu saja ketika saya bilang bahwa ia bukan lagi sesuatu yang saya suka. Langit jingga keemasan itu memudar. Bola matahari jingga keemasan menciut hingga lenyap. Mega-mega bertebaran yang dilemparkan dari pancaran sinar matahari itu kini telah menyublim menjadi gas. Langit-langit yang bewarna biru keperakan atau merah keemasan telah luntur. Kembang api senja mungkin telah layu. Air terjun jingga keeemasn berhenti mengalir. Gelombang-gelombang surut. Tidak ada lagi kereta istana, apalagi kuda terbang. Tidak ada lagi senja pada langit di atas rumah saya. Atau bisa jadi tidak ada lagi senja untuk saya.

Ternyata benar. Mulai saat itu, tidak ada lagi senja untuk saya.

Saya sempat berniat untuk meminta maaf kepada senja suatu hari. Saya mengunjunginya kali ini dengan berniat untuk meminta maaf, dengan mengajaknya minum teh bersama-sama atau saya traktir makan. Tetapi, pada waktu senja, langit berubah warna menjadi abu-abu polos. Tidak ada apa-apa pada langit itu. Tidak ada awan. Tidak ada matahari. Saya naik ke atap gedung berlantai dua puluhan untuk mengetuk pintu langit senja, tetapi tidak ada respon apa-apa. Di muka langit dituliskan dalam sebuah kertas: “Senja tidak sedang berada di rumah.”

Saya tahu ia ngambek besar-besaran. Bisa dilihat dari bagaimana ia menampilkan dirinya. Langit senja dapat dinikmati oleh pasang mata orang-orang lain, sedangkan di atas kepala saya langit senja hanya berupa langit abu-abu polos yang mengikuti ke mana saja saya pergi. Tidak ada satu pun orang yang mengeluh tentang perginya senja dari hamparan langit, karena hanya sayalah satu-satunya orang yang tidak bisa melihat senja itu lagi.

Padahal, saya ingin menjelaskan kepadanya bahwa hubungan saya dengannya memang tidak begitu istimewa. Saya hanya suka pada senja, tetapi bukan jatuh cinta. Sebegitu sintingnyakah saya hingga saya tidak bisa mencintai manusia lain, sehingga harus berpacar-pacaran dengan langit? Saya ingin mengatakan bahwa saat ini saya sedang jatuh cinta yang teramat dalam terhadap seseorang, yang kehadirannya telah menandingi keindahan mana pun yang pernah tercipta di dunia ini, termasuk senja. Saya jatuh cinta terhadap seorang lelaki. Manusia. Bukan benda mati. Bukan langit. Tetapi, sesuatu yang benar-benar hidup dan bisa saya kasihi. Syukur-syukur sehidup semati.

Tadinya saya kepikiran untuk mengenalkan kekasih saya pada senja, tapi bodo amatlah. Sudah saya bilang, dia pasti tidak bakalan ngerti jatuh cinta. Paling-paling dia iri kalau ia tahu keindahannya ada yang bisa menandingi.


Bardjan, 2014
Untuk Wilaga Azman Kharis


Rabu, 01 Januari 2014

Tanggal Satu

masehi baru dibuka dengan perhelatan rupa-rupa. Kembang api nyala-nyala dengan warna
yang rupa-rupa pula. Muda-mudi bersolek sebelum jalanan raya di kota kami dipepati dengan kendara-kendara bermesin. Klakson adu-mengadu. Di luar terompet ditiup bocah-bocah
bersahut-sahutan tak mau kalah. Malam tidak pernah sesiang ini. Cuma setahun sekali.
Masehi baru barangkali jangan dilewatkan dengan gaya biasa. Ada seremoni-seremoni sakral yang seakan menjadi ajian rawarontek,
seperti pesta, tapi bukan pesta, tapi agak-agak mirip pesta. Atau hanya sekadar ikan-ikan yang
diolesi mentega, dibakar bersama kawan-kawan kami.

Awal masehi yang bagus, tuan-tuan, nyonya-nyonya. Jangan girang dulu
adakah hari-hari tuan dan nyonya berikutnya bakal sesenang ini malam?
Jangan tanya saya balik.

Bardjan, 2014
hari pertama yang tidak mengesankan