Kamis, 30 Oktober 2014

Pada Asap Rokok


Memujalah aku pada asap rokok
yang dihembus damai ke langitan

Malam, sebatang lagi saja
maka aku gila
seperti di puncak nikmat
tapi sunyi teramat

Bisa kaudengar suara khas ujung batangnya
ketika kuhisap lekat, api merambat menyulut
lembut seperti memagut (bibirnya, La Mer )
yang tak henti-hentinya kuumpamakan laut
sebab ia tenang, beriak kecil sesekali
tapi dalam
tapi tenggelam
Keenakan yang dilakukan sambil terpejam
dalam ramai pesta semesta
yang bahkan kami tidak diundang, lagi-lagi
berduaan asik kami nyanyi-nyanyi
lalu mabuk teler oleh perasaan sendiri
dalam ingkar yang setia pada janji-janji:
“aku bakal begini, begini, begini
 begini, dan begini.

atas nama malam kami bersumpah itu-ini
sedang esok pagi,
cinta tidak bermakna apa-apa lagi

lalu aku tersadar dari igauan
“ah, masih jam delapan.”
bau asap rokok menyepuh seisian ruangan

sementara aku memaksa satu batang lagi
agar kuhisap lebih damai
hingga api di ujungnya merambat
merayapi kekosongan yang tak mampu dinamai
(atau tak sudi kunamai!)
hingga membakarmu
hidup-hidup

“api di dalam tubuhku
tak lagi membakarmu?"
baru sekali hisap, aku mengigau lagi

Minggu, 26 Oktober 2014

Absurdity No. 7: The Idle

Di dalam bilik yang ia bangun dari kejenuhan akan kekosongannya sendiri, ia menanti tiada. Menerus ia busuk di sana bersama mimpi yang, katanya, kelak akan ia susun perlahan melalui gairahnya. Mimpi yang, katanya, sedari bocah ia tekadkan untuk tidak hanya sekadar angan yang numpang lewat di pekarangan rumah, atau angan yang jadi kembang dalam tidurnya; tetapi mimpi yang harusnya ia berikan nafas, ia berikan nyawa dan penghidupan yang layak hingga akhirnya menjadi mapan, menjadi tuan atas dirinya sendiri. Mimpi yang harusnya tak ia abaikan di laut lepas, tetapi diajak berlayarlah bersama ia mengarungi lautan lepas, hingga semakin dekatlah ia ke arah di mana mimpinya berpesta di pulau-pulau, sedang ia minum arak beria-ria di atas kebahagiaan atas keringatnya. Orang namakan bekerja keras itu sebagai melacur dengan hormat.

daripada meringkuk di kamar
lebih baik melacur ke luar
agar tahu kejam
agar tahu garam
maka mereka melacur... melacurlah
melacur dengan mimpi
menerjang badai waktu
di belantara lacur-lacur
yang lebih-lebih kuatnya


Sayangnya ia masih di situ, menanti tiada. Menerus busuk jadi babu atas ketidaktahuannya akan esok, atas kebutaarahannya akan lautan lepas, sebab mengemudikan tubuhnya kepada mimpi saja ia tak miliki kuasa. Di waktu yang sepanjang ini mestilah ia sudah melangkah jauh, bergandengan dengan mimpinya sambil menghadap langit senja kesukaannya (ah, lagi-lagi senja); yang nanti dapat ia nikmati sambil ngangkang atau rebahan, dengan satu kap kopi susu dingin dari kedai gengsian di seberang telaga itu.

telaga memisah kami utara selatan
si makmur jumpalitan
si biasa kelamaan tiduran
si makmur bisa makan
si biasa pun makan
bungkusan yang sedikit murahan

Oh, dewa. Betapa pengecutnya ia, penuh laga ia bersungut-sungut bermimpi, tetapi tidak mau nanggungjawab untuk mengejarnya sepenuh jiwa. Betapa angkuhnya ia, berani berkata bahwa mimpinya adalah gairah liar sejati yang ranum berkembangbiak di raganya dari musim ke musim, tetapi sungguh enggan untuk mengenalinya lebih dalam.

"... mata manusia
selalu menghadap keluar
tak satu pun yang sanggup
melihat ke dalam dirinya sendiri."
 (Yanusa Nugroho, dalam Boma)


Sayangnya, selain pengecut dan angkuh, ia pun tak punya malu. Bukannya siap-siap untuk bangkit dan mengenali mimpi sejatinya itu, ia malah bikin tulisan serupa ini. Tulisan yang isinya borok sendiri.