Senin, 20 Juni 2016

Menangislah Aku

Menangislah aku
sedang badan dan jiwa penuh kepapaan
kujumpai ia dalam rupa
yang tak puas bikin aku bertanya
"Kau ini apa? Manusia apa mimpi?"
berkali kutonjok muka sendiri

Sebab angan-angan lunas sudah
kala ia bersukarela
kusematkan sumpah setia
Padahal ia hafal betul
aku terlalu kaya
akan kepapaan

Tapi ia begitu penyayang
sedang diri tak bisa sepadan:
aku si brengsek yang melupa diri
suka minta lebih-lebih
mencoba menguasai
sampai sering gila sendiri
kemakan cemburu melebihi api

Menangislah aku
kala kudengar ucap,
"tidak pernah ada wanita yang kucinta sebegininya
selain kamu."
Seketika hina aku pada diri sendiri
Lantas kubalas saja kala itu juga,
"Tapi aku penuh papa!"

dan ia tak pernah ambil peduli

Senin, 13 Juni 2016

A Night of May

Sayang, cinta itu lahir batin!


Sebab sudah sebadan-badan aku diberi
Setelanjang pula aku digratisi
Maka ambil pula badanku
Bawa serta kepala yang sudah kugadai
dengan janji mulut sendiri
(Kita satu hidup satu mati)
Bawa pula kerongkongan hingga liurku
Tukarlah dengan liurmu
--Sekalian lendir
Dan kita beradu peluh
hingga darah beriak gaduh
Api merah nyala di kelaminmu
Menjemput binatang dalam diriku




Jumat, 19 Februari 2016

Inferior

Tuhan, belagukah saya
belum apa-apaan sudah main percaya
ada orang yang sampai mampus bakal dicinta

Tuhan, jemawakah saya
hidup masih cemen sudah nyali bilang
kalau kawin saya bakal sama itu orang

Tuhan, dungukah saya
tidak berdigdaya apa-apa
niat benar dimiliki sesiapa

Tuhan, ditaruh di mana ini muka
borok semua
sok-sokan punya mimpi bakal dicinta yang di sana

Tuhan
Tuhan
Tuhan
Apa saya kenaifan?

Saya berani taruhan
Kau lagi ketawa, kan?


Senin, 11 Januari 2016

Api

“Mari mulai bicara.”

“Bicara tentang apaan?”

Sedari tadi, sepasang kekasih itu memaku perbincangannya pada satu titik: bicara tentang apaan? Sebab  dari berpuluh menit pertemuan yang telah mereka lalui, mereka tidak berhasil membuat obrolan yang mulus yang dapat bergulir dengan ritmik dan menyenangkan. Semua hanya basi-basian.

“Kalau hanya small talks, di chat saja, tho?” tanya si lelaki, beberapa detik setelah ia menyeruput secangkir kopi untuk yang kesekian kalinya sebagai penghilang suntuk yang ia ciptakan sendiri dengan wanita itu. Lebih tepatnya, menyeruput kopi hanyalah manuever buatan si lelaki itu untuk menutupi ketidaknyamanannya berada di dekat si perempuan.

Di seberang kursinya, si perempuan mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di meja. Ia membakar ujungnya dengan zippo-nya. Selagi membakarnya, si perempuan itu menghisapnya pelan-pelan, menyaksikan dengan khusyuk bagaimana api dari korek itu membakar hingga bara-bara api itu menyala di bagian ujungnya.

“Mari kita berbicara tentang api,” kata si perempuan setelah ia menghempaskan asap rokok itu melalui bibirnya yang kering.

“Api? Api apa?”

“Apinya meredup. Apimu. Api di matamu.”

“Begini, Nona. Banyak hal yang harus saya lakukan. Kalau kamu boleh tahu, berbicara dengan analogi seperti yang sedang kamu lakukan sekarang, bukanlah suatu hal yang praktis dan menghemat waktu sebab saya harus mengupas maknanya terlebih dahulu. Hal yang demikian itu lebih memerlukan banyak waktu.”

Geli. Si perempuan yang sedang menghisap rokok itu buru-buru melepaskan hisapannya saking gelinya ia ingin tertawa. Kemudian, ia tertawa kecil. Kepul asap berhamburan satu-satu dari mulutnya ketika ia tertawa.

“Dulu ya, Mas. Dulu, kamu suka sekali dengan analogi. Bahkan, kamu tidak perlu, tuh, yang namanya sok-sok nyeruput kopi terus. Dulu cangkir minuman kita awet banget habisnya.”

Lelaki itu tidak merespon apa-apa.

“Dulu kita ngobrolin apa aja, Mas. We even talked about nothing, or something. Something about nothingness. Nonsense. Tapi kita menikmatinya.”

Seraya menundukkan kepalanya, lelaki itu menyadari betapa sangat dulu ‘dulu’ yang dimaksud oleh perempuan itu. Saking dulunya si ‘dulu’ itu, saking sudah lupa diingat kapan persisinya terakhir kali ‘dulu’ yang dimaksud perempuan itu. Tapi bagi si wanita, dulu itu baru saja kemarin-kemarin, tepatnya seminggu yang lalu, ketika api yang dimaksudkan si perempuan tadi itu kian lama nyalanya kian redup, tidak lagi menyalak terang seperti biasanya.

“Saya minta maaf, tapi saya benar-benar banyak kerjaan.”

“Apa itu penting? Lebih penting mana sama saya?” Perempuan itu memanja.

“Lebih penting kerjaan saya.”

Tiba-tiba malam itu jadi tak bernyawa bagi si perempuan. Si perempuan menaruh sebatang rokonya pada bibir asbak. Seketika nafasnya megap-megap kewalahan untuk melanjutkan hisapan rokoknya.

“Apa kabarnya dia?” tanya si perempuan.

“Tidak pernah dia sebaik ini.” Si lelaki mengatakannya dengan sedikit senyuman di bibirnya. Walaupun sedikit, sudah cukup membuat nafas wanita itu semakin megap-megap. Sudah seminggu lamanya, dari mulai minggu lalu hingga barusan, inilah kali pertama ia melihat wajah si lelaki itu begitu merona. Bangsat, kutuk si perempuan.

“Bangsat!”

“Kamu suruh saya temuin kamu cuma untuk dibangsat-bangsatin?”

“Kamu lagi bahagia, Mas. Anjing!” Tenggorokannya kini gatal, dan gatalnya menyeruak sampai ke hidung. Matanya mulai geli dengan air mata. Beberapa detik ke depan, ia sudah tidak dapat lagi menahan air matanya.

“Jangan nangis di sini, dong. Lihat, tuh, orang-orang pada lihat.” Pengunjung kafe hadir dalam hitungan jari pada malam itu, dan setiap dari mereka dengan berhati-hati mencoba melihat ke arah si lelaki dan perempuan, meskipun hanya sekejap. Beberapa dari mereka curi-curi pandang penasaran.
Si perempuan itu kini menangis sambil mengumamkan beberapa jenis serapah.

“Baiklah, mari kita berbicara tentang api. Api saya. Api di mata saya. Nih, lihat, nih, mata saya, nih. Dengarkan, tapi jangan sambil nangis. Deal?” Si lelaki mencoba menenangkan tangisan si perempuan yang makin sejadinya.

Akhirnya ia bercerita mengenai api. Api yang meredup. Api yang akhirnya padam pada malam itu. Pembicaraan mengenai api itu menghabiskan beberapa batang rokok untuk dibakar oleh si perempuan. Pun si lelaki sama sekali lupa untuk meneguk kopinya. Pembicaraan tentang api itu adalah pembicaraan yang terakhir, sekaligus pertemuan terakhir antara si lelaki dan si perempuan.

“Maaf.” Itulah yang terakhir diucapkan oleh si lelaki. Perempuan itu berdiri dari kursinya, lalu pergi.

Di bibir asbak, api pada ujung batang rokok si perempuan belum juga padam. Ini batang kelima malam ini. Untungnya, api di matanya sudah padam.

Belum.

Setidaknya, mulai meredup pelan-pelan.