Sabtu, 05 April 2014

Gerbong

Pada gerbong tidak ada isyaratmu yang sia-sia. Malam itu
tak ada kata yang betah bermalam di kepala meski tanpa diucap
semua menyeruak dalam diam seperti berdoa. Pertapaan ritual malam
dalam kepulangan ke rumah dari kampus perjuangan

Pemandangan malam tak mesti kaulekati dari balik jendela sebab kacanya terlalu pekat hingga membayang rupa badan sendiri, berikut lusuh muka sendiri
namun pada gerbong di malam hari bukan pohonan, bangunan, maupun rerumahan yang
harus direnungi. melainkan apa-apa yang tidak kelihatan di hari ini
bukan lingkar rutinitas yang rapi distruktur jadwal, melainkan apa-apa yang maya
yang rupa dan segala detilnya hanya bisa didikte dua: dada dan kepala.
— dada yang mengalahkan kepala, lebih tepatnya.
Amuk hati yang dipaksa jinak. Keluh yang ditahan mundur. Tangis yang mengintip malu-malu dari ujung ekor mata. Atau mengenai logika yang disunat oleh hati yang cengeng tetapi sadis,
sebab hati selalu membuat pincang otak kita sehingga kita rela berlemah-lemah menerima
apa yang seharusnya tak kita berhak.

Dalam gerbong di malam itu, pikiran melulu soal sedih-sedihan. Soal sesal-sesalan.
Kecamuk perasaan yang lajunya sekuat laju kereta yang menggesek berdecitan dengan rel,
pun tidak berangsur lemah serupa kereta yang mengerem perlahan sebelum berhenti di stasiun.
Orang-orang turun digantikan orang naik, namun kamu tidak peduli adakah diantara mereka yang
mencolok perhatianmu.
Sebab mereka bisa jadi sebangsamu; bertapa dalam gerbong. Berdoa pada gerbong.
Sembahyang dalam gerbong. Tidak mau diusik.

Gerbong di malam hari menjelma jadi kotak kontemplasi, dilatari desing suara kereta,
dibekukan pendingin udara, dihempas oleh rem mendadak masinis,
dibuai kantuk ketika kebagian tempat duduk
terlepas dari kebagian duduk atau berdiri, apalah yang kuasa mengusik apa yang terjadi di dalam?
Dada dan kepala — dada yang mengalahkan kepala, lebih tepatnya,
tidak pernah seganas ini pada gerbong di malam hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar