Senin, 23 September 2013

Topeng dan Senja

Saya tidak jadi minum kopi.

Ketika setengah perjalanan menuju kedai kopi, mata saya terbelalak. Ada perhelatan senja yang indah sedang digelar di langit sana. Warnanya jingga kemerahan, kadang-kadang suka serupa emas. Ada bola api yang kemerahan, tapi kadang keperakan juga. Ada awan yang juga jadi jingga, kemudian menyemburkan semburat mega-mega yang merekah keluar seperti kembang api tahun baruan. Saya dulu sempat melihat perhelatan langit semacam ini, namun waktu itu saya lebih beruntung. Saya melihat kereta kencana kerajaan meluncur di langit yang ditarik oleh kuda-kuda terbang warna putih yang memancarkan sinar. Saya tak bisa melupakan sore itu selamanya.

Saya menganggap bahwa sore ini pun saya sedang dapat lotere; menyaksikan langit senja yang langka seperti kiriman dari taman surga. Entahlah. Mungkin ini salah satu berkah karena saya sedang tidak pakai topeng. Eh, tunggu. Apakah saya sudah pernah menulis puisi tentang topeng? Saya bercerita tentang realita di kolong langit senja ini melalui puisi itu. Topeng.

Sekarang semua orang menggunakannya. Lihatlah, wajah mereka seperti sudah satu nyawa dengan topeng itu. Mereka buta, tapi mereka pura-pura bisa melihat. Mereka bisa melihat, tetapi dalam suatu keadaan terbalik. Mereka melihat kawan jadi lawan, mereka melihat gelap jadi terang, mereka melihat ketamakan sebagai sebuah kewajaran, mereka melihat adegan perkosaan sebagai hiburan, mereka melihat arak sebagai susu soda, mereka melihat pengemis kurus sebagai orang yang kebanyakan makan, mereka melihat dirinya sebagai orang kurus yang kurang makan. Mereka bahkan melihat kolam air menjadi kolam api, air sungai jadi api sungai, lautan jadi lautan api. Mungkin ini salah satu penyebab mengapa mereka jadi lebih senang mendekati api dan bermain-main dengannya. Mereka melihat bangkai anjing sebagai sebuah kenikmatan, sampai-sampai mereka memakannya. Mereka melihat kesedihan saudara-saudaranya sebagai sebuah hiasan, kadang mereka bungkus butir-butir air matanya untuk dijadikan kalung.

Seperti yang sudah saya tulis dalam puisi Topeng, hati dan otak para pengguna topeng itu tidak lagi mengenali wajahnya sendiri. Oleh karena itu, hati mereka mau tak mau harus menyesuaikan apa yang dilihat topeng itu, sehingga timbullah pikiran dan perasaan yang sebenarnya sama-sama palsu. Mereka tertawa walaupun tidak ada yang lucu. Mereka tersenyum ketika sedang digebukin. Mereka kaya padahal kere. Mereka merasa pintar padahal otaknya guoblok. Mereka waras padahal gila. Yang paling saya sumpah serapahi adalah, saya kasihan melihat mereka harus pura-pura tidak jatuh cinta ketika mereka jatuh cinta.

Lihat lonte itu. Dia pasti sudah sangat ahli pakai topeng. Saya tahu di balik senyumnya yang jalang, pasti ia menangis pilu karena harus dipakai sana-sini hanya demi alasan klasik dunia pelacuran; butuh uang. Tak jauh dari situ, saya melihat empunya kepalsuan. Salah satu suhu pengguna topeng. Kerahnya putih, dasinya bagus, jasnya bau Gucci, dan sepatunya Kickers asli. Ia baru saja sarapan duit kami tadi pagi, tapi mukanya tersenyum puas, seperti pahlawan yang sedang dipuja atas jasa-jasanya. Tak jauh dari si Kerah Putih, saya melihat seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Ibu itu berbicara kepada anaknya, “Sudah kenyangkah kamu hari ini, Nak?” diikuti dengan anaknya yang berteriak senang di pangkuannya, “Sudah,Bu. Hari ini kita makan enak banyak sekali!”

Saya hanya bisa memandangi orang-orang yang bermacam-macam rupa tetapi sebenarnya nasib mereka sama. Sama-sama dijungkirbalikkan oleh realitas karena menggunakan topeng itu. Lebih parahnya lagi , mereka sudah nyaman dengan dunia yang terbalik ini. Mereka sudah kelewat nyaman melakukan hal-hal yang sebenarnya bertubrukan dengan hati dan otaknya, yang saya bilang sudah tidak mengenali wajah mereka sendiri.

Sungguh, perhelatan di kolong langit tentang para pengguna topeng ini berbanding terbalik dengan langit senja kali ini. Ketika saya sudah terlalu enek dengan wajah-wajah topengan mereka, saya kembali menegadah ke atas langit. Ah……senja yang cantik. Kini mega-mega berhamburan seperti hujan cahaya yang dipercikkan bola api bernama matahari itu. Warnanya emas dan berkilau. Ada yang sempat jatuh ke tangan saya, ketika saya genggam percikan itu berubah menyerupai Kristal yang membutir seperti permata. Saya tersenyum bahagia. Belum pernah saya melihat perhelatan langit semewah ini. Saya bersyukur karena topeng saya ketinggalan di rumah.

Lamunan saya terbuyar oleh suara cempreng dari pedagang asongan yang masih seumuran sekolah dasar. Pedagang topeng yang juga sedang memakai topeng. “Beli topengnya, Kak. Sepuluhribu satu, limabelas dua!”

Saya menggeleng.


“Beli dong, Kak. Saya mohon. Saya butuh uangnya untuk jajan, Kak. Bukan buat beli sepatu sekolah.”


(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar