Selasa, 10 September 2013

(Belajar) Menulis

Bahkan ketika saya mulai menulis ini, saya berpikir setengah mati; apa yang sebenarnya lagi saya lakukan? Saya tak pernah sangka bakal menulis lagi, mendengar bunyi ketak-ketik ketak-ketik dengan irama yang sepertinya sudah lama diserap angin bulan lalu.

Sudah lama menanti saat-saat serupa ini di mana saya bisa merefleksikan kata per kata yang sudah lama antre di dalam kepala. Alamak! Apa kata saya barusan? 'Kata-kata yang antre dalam kepala?' Kalau boleh tahu, memangnya isi kepala saya apa? Terakhir saya rogoh-rogoh isi kepala, kosong. Tidak ada kata-kata apa-apa di sana. Dulu pernah sempat banyak kata-kata yang bikin sesak kepala, kemudian saya biarkan saja sampai tersumbat dan membangkai di sana. Padahal, sering saya berjanji bahwa saya akan menuangkan mereka ke tempat yang lebih layak seperti di kertas ini. Dituangkan begitu saja, dilepas ke alam liar bernama kertas. Saya tidak butuh mata-mata yang lain untuk membaca, sebenarnya. Dibaca atau tidak dibaca oleh mata orang lain tidak ada pengaruh apapun bagi saya, karena tujuan utama saya menulis ialah membebaskan isi kepala yang njlimet, yang kadang tak pernah berdamai dengan hiruk-pikuk emosi.

Membahasakan tulisan agar bisa 'diraba' maknanya oleh pembaca merupakan salah satu tantangan menulis. Ada yang menjadikan itu sebagai tugas utama: "Pokoknya pembaca harus bisa mengerti apa yang kita tulis dan dapat terbawa hatinya melalui tulisan-tulisan kita." Tapi, itu artinya kita jadi budak, bukan? Selama ini kita dijadikan pembokat oleh para pembaca, maka dari itu terciptalah aturan-aturan untuk menulis agar menarik dan menyentuh hati pembaca dan supaya tidak ngelantur ke mana-mana. Jangan lupa juga perhatikan kaidah penulisan dan kebahasaan. Ejaan harus benar. Bahasa harus baku dan sopan. Kalau bisa bubuhkan istilah-istilah ilmiah supaya inteleknya kelihatan. Atau, kalau bisa jangan ngarang fiksi imajiner melulu. Bahas isu-isu politik biar kelihatan kritis, dan sebagainya. Persetan! Seperti budak yang dikerangkeng saja. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa saya enggan belajar nulis, karena saya sadar saya belum mapan secara intelektual untuk menghadirkan satu tulisan yang mahal dan berkualitas, ditambah lagi saya benci segala hal yang berwangi keilmiahan. Untuk singkatnya, katakan saja saya ini pemalas, tapi ber-alibi ini itu supaya malasnya ketutupan. Haha! Tapi, sekali lagi, tulis-menulis itu seharusnya dijadikan ruang personal yang memang dipenuhi semata-mata hanya untuk menyalurkan nafsu kita, yang nantinya kepuasan itu cuma untuk diri sendiri saja, bukan untuk memuaskan orang lain. Kita bukan buruh maupun budak yang kerjanya melayani majikan dengan tulisan-tulisan kita.

Mungkin mengapa saya berani berkata seperti ini ialah karena saya tidak cakap menulis ilmiah. Ya, benar. Anda tidak salah terka. Saya memilih menulis yang non-ilmiah karena saya merasa bisa lari-lari secara bebas dan liar tanpa harus diikat mati dengan aturan ini itu. Basi. Untuk itu saya suka berpuisi atau menulis cerita fiksi, walaupun akhirnya bakal diabaikan dan jatuh jadi kertas busuk di tempat sampah. Sekali lagi, saya menulis untuk diri saya sendiri. Masa bodoh cungur orang mau berkata apa.
Dengan ini, bukan berarti saya mencemooh tulisan-tulisan ilmiah, apalagi mencemooh penulis ilmiah. Justru, saya kagum dengan mereka. Mereka mampu menulis untuk hajat hidup orang banyak, di mana dari tulisan-tulisan mereka lahir wawasan yang turun-temurun diwariskan dari satu pembaca ke pembaca lain, sehingga akhirnya berkembangbiak menjadi wawasan baru. Sirkular. Hingga akhirnya kita kaya akan informasi dan pengetahuan. Yang paling bikin dengki dari penulis ilmiah ialah, setahu saya mereka mampu menempatkan diri mereka pada dua koridor yang berbeda: menulis ilmiah dan non-ilmiah. Mereka bisa menjadi anak manis yang taat pada aturan, tetapi kadang bisa tidak tahu aturan. Mereka bisa keluar-masuk penjara seenaknya dalam menulis, misalnya, pagi hari mereka ngetik makalah tentang kenaikan harga kedelai dan malam harinya mereka menulis prosa tentang hatinya yang sepi.

Dalam hal ini, dari dulu kala saya sudah bisa menyimpulkan: saya tidak suka dipenjara ketika menulis. Untuk itu, saya memilih menulis yang gini-gini saja, kadang nonsens untuk disebut sebuah karangan. Yang penting bebas.
Saya tidak terlahir untuk jadi penulis. Mungkin kalian juga tidak. Hey, memang kalian mau tinggal di dunia yang isinya penulis semua? Setidaknya, kita bisa menulis. Apapun. Apapun yang ingin kita tulis, ya tinggal tulis saja. Tak usah ragu. "DASAR TOLOL!" Upss, apa yang barusan saya tulis? Apa saja, yang penting itulah yang ingin kita tulis. Walau kemampuan menulis saya hanya setaraf menulis surat cinta ecek-ecek untuk kekasih, atau hanya puisi cengeng yang kerjanya memetaforakan senja, bintang, atau benda langit lainnya, saya tetap masa bodoh. Semua dilakukan atas landasan saya suka menulis itu. Masalah apabila orang yang membaca akan suka atau tidak, itu urusan belakangan.

Kembali lagi ke kasus yang paling, paling awal: ini adalah pertama kalinya saya menulis lagi. Teman saya sempat bertanya mengapa saya tidak menulis lagi, entah itu sastra yang bentuknya puisi maupun cerita pendek. Saya hanya bisa jawab: "Tinta saya sudah habis." Entah mengapa saya melontarkan jawaban macam itu, saya tidak pernah mengerti sampai sekarang. Dulu saya ingat pernah cerewet menulis ini-itu. Saya pun kaget ketika mengingat beberapa bulan ke belakang saya masih suka menulis beberapa puisi dan fiksi (mungkin saat itu tinta saya masih deras seperti air terjun.) Tapi, satu yang paling bikin saya linglung sendiri, mengapa saya harus berkata bahwa tinta saya telah habis? Memang, tinta di sini itu artinya apa? Dari mana keluarnya? Habis-nya kenapa? Saya sendiri tidak menangkap makna dari apa yang saya katakan. Tetapi, apapun alasannya, seharusnya saya harus bisa mulai menulis lagi walaupun rasa malas ini tidak bisa diremehkan. Kurang lebih, satu bulan sekali atau dua minggu sekali. Saya ini pemalas ulung, kerjanya melamun terus. Tapi, sekali lagi saya mau mencoba untuk belajar menulis. Saya tidak boleh beralasan bahwa tinta saya habis. Bukankah kita bisa beli tinta baru?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar