Sabtu, 24 Februari 2018

Hehe

Friedrich Nietzsche keliru. The formula for greatness in human being is not Amor Fati.
It's Amer Fati.

Namun sebotol cap orang tua yang kubeli di Tukang Jamu pinggir jalan Fatmawati itu meletupkan keputusan tergoblok sepanjang hidup.

Kulewati malam mabuk-mabuk alay sama pria lain. Pria itu memang tidak berambut gondrong,
Tapi ia bikin semuanya jadi gone wrong.

Dan aku tahu ini kematian kecil bagimu. Sebab, katamu, saat kematian yang sebenarnya tiba, kita tak merasa apa-apa.

Kematian kecilmu adalah saat kamu menjemputku pulang dari teler-teler syahdu dengan pria lain,
sambil ngeracau Bakunin yang bahkan bukunya sudah mager kubaca.
Kau pastikan aku selamat sampai kamar

Bebukuanmu yang berserakan di kamarku bagai perpustakaan di pusat kota yang meleleh ambyar ke lantai
kamu bereskan satu-satu ke dalam ranselmu. Kausmu juga. Kolormu juga. "Aku akan pergi, tapi tolong jangan dicari. Kan kaujumpai bangkaiku di danau," katamu.

Pergilah, silakan. Kepergianmu seharga bangkaiku yang akan kautemui pula di kamar ini.

Tanpamu, aku akan mati dalam keadaan mati paling menyedihkan: kurang amal dan kurang anal.

Kau muntahkan beribu tanya, mengapa-mengapa-mengapa? Kujawab hal yang sama: mengapa-mengapa-mengapa?

Aku tak paham mengapa malam itu dunia tak menyisakan pilihan lain
selain menyakitimu.
Ingin sekali kubalas, "Itu bukan aku, suer. Itu cap orang tua."

Padahal, kita sama-sama tahu,

Kamu adalah pria pertama yang kuajak nonton Crime and Misdemeanor-nya Woody Allen agar kita bisa berbincang sedikit tentang hakikat kejahatan.

Kamu teman ewita terbaik dan terpuitis yang kukenal. Di kamar ini air manimu mengering di dinding, lemari, gorden. Mengering pula di benakku. Abadi.

Kamu sudi menjilati tubuhku hingga ke gorong-gorong terkotor yang bahkan aku pun jijik memilikinya. Bentuknya oke, katamu.

Kamu maklum bermalam di kamarku yang acakadut dengan sampah bekas makan di mana-mana, meski kamu tahu kita bisa saja mati kena TBC di dalam sana.

Kamu sudi bersamaku mengentuti society.

Kamu pria pertama yang rela bermasa depan suram denganku. Kita miskin bersama, mati lapar dan lata. Mati kita berdua di jalan tanpa papan nama.

Namun tak pernah kamu ke tukang jamu di pinggir Fatmawati. Beli amer dua botol agar bisa lebih enjoy haha hihi sama ciwi-ciwi.
Damn, menyentuh mereka pun kamu ogah.

Kalau dipikir, itu bukan setia namanya. Itu goblok.

Kamis, 26 Oktober 2017

Butterflies In My Stomach

I saw butterflies
in my stomach
How could I know?
I just disemboweled myself

Their wings were goldish blue
They died.

Minggu, 22 Oktober 2017

Bianglala

Related image

I
Usiaku lima saat kamu bawa aku
main ke taman ria tak jauh dari rumah
naik motor butut kesukaan
kau mafhum betapa bungahnya aku naik wahana;
bianglala, jangan ditanya

setibanya di sana kamu berkelakar:
"taman rianya sudah tutup
kita pulang lagi saja."
lalu kamu nyengir jahil
urung cemberut ketika di balik punggungmu
kulihat wahana-wahana menghampar
dan kita berhambur pada satu tuju;
bianglala, jangan ditanya

kamu tak turut naik bersamaku
sedang bianglala itu hendak diputar mas-mas yang berjaga
"Ikut juga, dong. Ikut juga!"
tak dihiraukan rengekan penuh mohon itu

"ditunggu di bawah," begitu tanggapanmu

bungah itu berganti muka jadi cemas
sekalipun aku suka naik bianglala
kuharap kamu turut naik pula

namun perempuan cengeng dan penakut
bukanlah apa yang kamu harap dariku

II
sedang di bawah sana kulihat kamu heboh ngobrol dengan orang
entah kawan yang mana. sebab kawanmu memang banyak di mana-mana

bianglala masih saja berputar
pun aku merengek minta turun.
takut jatuh
takut mati
takut lepas ke langitan
dan lupa jalan pulang

mungkin kamu tahu aku hampir tersedu
mungkin kamu tak mau tahu
perempuan cengeng dan penakut
bukanlah apa yang kamu harap dariku

turun jua dari bianglala itu, kujumpai kamu buru-buru
"senang?" tanyamu
tak mau bikin kau kecewa, kubilang saja senang
seraya tak kuindahkan tawaranmu untuk naik kali kedua
kapok.
bianglala sialan, gertakku dalam hati
sebab aku takut melayang
dan berputar-putar
di langitan
sendirian

III
usiaku dua puluh tiga
di depan kuburmu, Pak, kamu buka kembali
memoar bianglala di kepala
--sensasinya persis.
persis; takut itu, cemas itu, rengek itu.

namun aku sangsi: kamu atau aku yang sedang naik bianglala?
kamu atau aku yang nunggu di bawah?

sebab kamu telah mati
melayang dan berputar-putar sendiri
di langitan. Lupa jalan pulang

bersamaan pula kita merengek:
"Ikut juga, dong. Ikut juga!"

Our Favorite Word


 Image result for our bed
as you shut the Door, i sank my head into pillows
the bed traced no fragrance of your hair
only a taste of saline whose tears, mine or yours?
what made us cry a river, then a fight, or the needles spred all over the bed?
since we didn’t pay much attention to the Eros flame we pretended to ignite
cause there was no Animal desire left between us, only a piercing languor. so why didn’t you, why didn’t you strangle me? behead this agony from the roots of my neck
under The pseudonym of happy ending; should we call it poetry?
wow, look how Happy we are now
laughing along the way back home!

Minggu, 15 Oktober 2017

I Don't Want To Be Your Ghoul Any Longer

So tell me
Did you just drink the coffee
Or the coffee just drank your soul?
You seemed to understand
How it felt like to be ghoul
for a dead body named you

and you seemed so pleased
to be a refugee
of a grim, brutal battle
between you
and yourself.

You then came to death,
murdered by yourself

Never did they shower your grave
with any flower petals from
any flowers ever planted on earth
They knew you didn't
occult any symbols of affection,
or amusement
or condolences
You even forgot how was the taste
of tears slither down your cheeks!

Just because you prefer coffee
to flowers,
I spilled cups of them
--black, no sugar
Like our bitterest bye-bye--
around your grave.

Your funeral song was a huge hit,
They gave the title:
"So, you drank coffee
Or the coffee drank your soul?"

Still, your dead body lies here
And I don't want to be
your ghoul
Any longer.

Aku Ingin Gila Bersamamu

satu nanti
pada hujan yang ke-Neruda-nerudaan persis ini
aku bakal lebih sering
berpuisi untukmu
sebab benar katamu, aku adalah penyair
matiku dikenang sebagai penyair
dan hujan macam ini, berkat titahku
akan jatuh di atas kertas
sebagai puisi utuh yang semerbak legenda
yang tak jemu dibaca bolak-balik
oleh umat manusia
yang laris dijajakan di kedai buku
dipuja-diludah kritikus
diidolai muda-mudi sambil sesujud

benar katamu, aku adalah penyair
--pernahkah kamu mengatakannya? aku ragu
atau aku hanya mengkhidmati kegilaanku
di tengah masyarakat yang tampaknya
terlalu sehat-sehat saja
atau berpura-pura sehat
sebab kata filsuf pujaanmu yang kepala
dan isinya sama-sama licin itu:
orang gila harusnya dilepas di tengah
komplotan orang-orang sehat
bukan dikandangi sambil diikat tali rafia

tapi apakah aku gila, aku tak peduli
aku ingin gila bersamamu
di tengah masyarakat waras
seperti pada hujan kali ini
hari Senin. Senin yang begitu tega
apalagi Senin ini, Senin di pemakaman! (tahulah apa ini maksud
baru saja kita membaca puisi tentang
kantor dan pemakaman tadi pagi)

aku ingin gila bersamamu.

Kamis, 25 Mei 2017

Kecoa dan Rokok

Andai saja aku ini kecoa!
Lah, kamu kan sudah jadi kecoa
yang dari cubluk ke terowongan kelana
tanpa kepala
yang mustahil dimusnah-habis dari petala bumi,
dan berkoloni di balik lemari
Bising. Ngusik tidur, berlari
di sela ranjang malam hari
--memamah telur dalam sepatu kesukaanku

kadang aku tak kuasa membendung keusilan menginjakmu
sampai pejret-penyek. Gak papa? Enggak mau!

Baiklah, kalau begitu, aku pengin jadi rokok saja! Lah, ngapain?
Ya, pokoknya jadi rokok!
Boleh, asal jangan kau omeli langit di atas rumahmu
jika kamu memang berandai jadi rokok
yang kuhisap batang demi batang tanpa hingga
dan kamu menyalak jingga
asapmu menyeruak ke angkasa
tapi kamu akan berakhir di bak sampah, bergumul dengan botol aqua atau popok bekas

Besok kan kamu bisa beli rokok lagi! Iya, mungkin besok aku bisa beli bungkus baru di warung,
membakarmu lagi hidup-hidup,
meracaukan nikmat yang nihil untuk dieja akal sehat
tapi takkan lagi kamu temui aku dalam wujud seperti kemarin
Esok aku jadi orang baru, cermin pun tidak mengenali.