Hari ini senja datang kepada saya sambil
marah-marah. Matanya melotot. Bukan hanya menyiratkan rasa sebal yang minta
ampun, tetapi juga kekecewaan. Ia menubruk langit di atas atap rumah saya
tiba-tiba tanpa permisi, padahal masih pukul satu siang pada saat itu. Alhasil,
hanya langit bagian rumah saya saja yang berlatar senja, lengkap dengan bola
matahri jingga dan langit keemasan yang teduh. Di langit bagian luar rumah
saya, hari masih terik dengan sinar matahari yang panas. Saya terkejut dengan
tingkah seenaknya yang dilakukan oleh senja siang ini. Kalau saja dilihat orang,
bisa-bisa rumah saya dikerumuni oleh orang-orang yang ingin menyaksikan
fenomena hamparan senja di tengah siang bolong ini.
“Sudah, deh, jangan cari sensasi. Bisa-bisa
halaman rumah saya penuh dengan orang-orang yang foto-foto.” Ia tidak menghiraukan kata-kata saya. Senyumnya
masam.
“Kamu sudah menyalahi hukum ilmu alam. Ini
masih siang. Pulanglah dulu,” kata saya lagi. Gawat, matanya melotot kembali.
Lebih-lebih.
“Sopan sekali menyuruh saya pulang! Memangnya
kalau saya pulang kamu bakal menemui saya?” Ia makin geram. Bahkan, ia
melemparkan percikan cahaya mataharinya yang jingga keemasan. Percikan itu
hangat menampar muka saya. Ia mulai main kasar, tetapi saya tidak membalas
apa-apa.
Memang, sudah beberapa bulan ini saya tidak
lagi mengunjungi langit senja. Bukan berarti saya di rumah terus ketika senja
tiba. Hanya saja, hujan sering turun pada waktu senja tiba sehingga saya tidak
dapat keluar rumah untuk bertamu kepada senja. Namun, ia tidak menerima alasan
itu. Basi. Sekarang, kan, sedang musim kering. Hujan datang kadang-kadang saja
saat senja. Ya, alibi saya sudah dipatahkan oleh senja itu. Ini memang musim
kering, sudah beberapa minggu hujan hanya jatuh beberapa hari dalam semingu,
itu pun tidak terlalu deras. Saya terlalu bodoh untuk mengeluarkan alasan itu.
“Ke mana saja kamu?” Senja itu setengah
berteriak. Perangainya memang jadi keras. Saya bisa memakluminya karena memang
saya tahu ia sedang merindu saya, tetapi tidak saya katakan karena pasti ia
akan mengelak. Saya mengerti betul seseorang dapat berperangai di luar kendali
ketika ia sedang merindu seseorang tetapi tak mampu bertemu satu sama lain.
Meskipun ia bukan dikategorikan sebagai orang, tetapi kurang lebih sama
rasanya.
Saya tetap diam tidak menjawab sebelum
akhirnya ia kembali bertanya yang sama. ‘Ke mana saja kamu? Jawab!”
“Saya tidak ke mana-mana. Dengar, bukankah
saya sering keluar rumah pada saat senja?”
“Bukan itu pertemuan saya inginkan!” kata
senja.
Ya, memang bukan itulah yang dimaksud sebuah “pertemuan”
olehnya. Bukan sekadar saya jalan-jalan ke luar rumah pada saat senja. Bukan
sekadar ia hanya bisa melihat saya dari atas sebagai bagian dari hukum semesta:
di atas bumi manusia ada hamparan langit. Tetapi, lebih dari itu. Biasanya
sayalah yang sering mengunjunginya untuk menikmatinya secara detil, entah
melalui jendela kamar saya, duduk di hamparan rumput, atau kadang naik ke
lantai koridor kelas kampus saya yang paling atas demi dapat melihat senja
secara jelas. Di sanalah akhirnya saya bisa menikmati setiap detilnya.
Belum saya jelaskan pada kalian betapa saya
menyukai senja. Entah mengapa ketika melihat senja tidak ada lagi benda-benda
yang dapat menandingi keindahannya. Pada waktu itu saya memang sering
mengunjungi senja, bukan hanya untuk menunaikan hukum semesta bahwa dengan
menengadah ke atas maka saya akan melihat langit, tetapi lebih dari itu. Saya
meresapi keindahannya dari bagian ke bagian hampir setiap ujung hari. Langitnya
yang jingga keemasan, bola mataharinya yang jingga semburat, pancaran sinar
matahari yang satu tubuh dengan warna perpaduan langit yang dilukis Tuhan
sambil tersenyum, mega-mega yang disemburkan langit serupa jingga
keperak-perakan, kadang merah kejingga-jinggaan, atau biru keemas-emasan.
Aaaaah... Betapa saya tidak dapat melanjutkan. Bahkan, ketika hari harus diganti
dengan petang, senja memberi kesan yang menyiratkan bahwa kepergian terang
bukan berarti sebuah ancaman. Betapa senja diciptakan untuk menaganlogikan
berbagai keindahan-keindahan yang lainnya. Belum lagi, saya menyukai puisi.
Menyukai senja dan puisi. Puisi dan senja bisa jadi satu paket senyawa yang
luar biasa indahnya, kalau-kalau kalihan belum tahu.
Saya pernah berkata langsung kepada senja
bahwa saya menyukainya. Pipinya sedikit berubah warna menjadi kemerahan. Ia
bilang saya gombal dan sedang merayu. Mungkin saya sudah kelewatan. Hubungan
saya dan senja hanya sebatas hubungan antara manusia sebagai pengagum karya
Tuhannya yang bernilai estetis tinggi. Namun, sepertinya senja menanggap
hubungan kami lebih dari itu.
Pernah beberapa kali ia memberikan bonus
kepada saya ketika saya sedang memandanginya dari balkon rumah saya. Ia menambahkan
keajaiban pada dirinya pada saat itu. Langit senja yang terhampar pada
saat-saat itu merupakan perhelatan langit paling indah yang pernah saya lihat sepanjang
hidup saya yang dapat saya ceritakan kelak kepada anak cucu saya. Bukan hanya
hamparan langit jingga dengan bola matahari keemas-emasan, ataupun pancaran
mega-mega yang warnanya rupa-rupa. Saya melihat ada cahaya yang tepercik dengan
letusan kecil, seperti kembang api yang bermekaran meletup-letup berkali-kali
hingga percikannya menetes di kepala saya. Ada pula air terjun jingga keemasan
yang mengalir dari awan-awan, dan air jingga keemasan itu mengalir membentuk
gelombang-gelombang mungil seperti apa yang saya lihat di bibir pantai. Langit
menjadi lautan cahaya senja. Saya kira saya sedang di langit surga saat itu.
Tetapi, keajaiban itu tidak lagi terjadi semenjak saya memutuskan untuk tidak
lagi mengunjungi senja.
“Ingat apa yang kamu katakan dulu? ‘Langitnya yang jingga keemasan, bola
mataharinya yang jingga semburat, pancaran sinar matahari yang satu tubuh
dengan warna perpaduan langit yang dilukis Tuhan sambil tersenyum, mega-mega
yang disemburkan langit serupa jingga keperak-perakan, kadang merah
kejingga-jinggaan, atau biru keemas-emasan. Aaaaah... Betapa saya tidak dapat
melanjutkan.’” Senja mengatakannya dengan nada yang nyinyir, persis seperti
apa yang pernah saya katakan saat itu dengan gaya puitis yang juga barusan ia
peragakan sama persis. Saya tahu sedang bulat-bulat disindir, tetapi sekali
lagi, saya memaklumi sikapnya. Saya tidak melawan. Terlebih lagi, ia
menambahkan, “Nona genit yang mana yang merayunya seperti barusan?” Saya tetap
diam.
“Kamu tidak akan pernah mengerti penjelasan
saya.” Hanya itu tanggapan saya.
“Kamu menjelaskan saja belum,” balasnya.
“Kamu tidak bakalan ngerti. Percuma kamu
datang ke sini.”
Sebelum kedatangannya hari ini, ia pernah
mengunjungi saya beberapa minggu yang lalu persis seperti kemarin. Ia menentang
hukum ilmu alam, datang pada saat siang bolong, menyebabkan hanya hamparan
langit di rumah saya saja yang latarnya senja. Saat itu saya sedang tidak ada
di rumah. Ia menunggu saya sampai malam. Saya kaget ketika saya pulang ke
rumah, halaman rumah saya ramai oleh kerumunan orang-orang yang menonton langit
senja di rumah saya. Tentunya fenomena ini merupakan fenomena yang langka. Senja di tengah langit malam. Kapan
lagi, toh? Orang-orang itu berkumpul menyesaki halaman rumah saya. Mereka
terdiri dari berbagai kalangan dan usia. Dari mulai keluarga hingga pasangan
kencan. Anak-anak sampai lansia. Gelandangan sampai pejabat. Bahkan,
wartawan-wartawan pers pun hadir untuk meliput fenomena langka ini. Beberapa dari
mereka langsung menyerbu saya dengan pertanyaan.
“Nona, bisa Anda jelaskan bagaimana langit
senja ini dapat terlihat hanya di bagian langit rumah Anda?”
“Mengapa di rumah Anda bisa ada senja
sementara langit harusnya gelap gulita?”
“Apa Anda ini tukang sihir atau orang bisa?”
Saya, yang juga sama terkejutnya dengan
fenomena yang baru saya lihat seumur-umur ini, tidak mampu menjelaskan apapun
dengan penjelasan yang kuat dan rasional. Hanya satu kalimat yang saya katakan
kepada para wartawan itu,”Tanya saja sama yang itu.”sambil menoleh mata senja.
Kemudian, saya melengang masuk rumah begitu saja tanpa menyapa senja itu dengan
sapaan yang hangat dan bersahabat. Saya sedang lelah, tetapi ia tidak mengerti.
Saya tahu betul ia sedang mencoba menggoda saya, tetapi senja itu tidak akan
pernah tahu kalau saya bukanlah lelaki yang gampang digoda. Tidak untuk kali
ini. Tidak akan pernah.
Saya masuk ke kamar dan tetap bersikap cuek
dengan apa yang terjadi di luar jendela.
Orang-orang masih sibuk mengabadikan peristiwa aneh bin nyata ini di pekarangan
rumah saya. Tetapi, bukan itu yang senja harapkan. Senja hadir memecah langit
di malam hari bukan untuk mencari sensasi. Ia tahu bahwa ia telah gagal untuk
menggoda saya, sayangnya ia tetap berusaha mencari cara lain yang menggoda saya
setengah mampus.
Ia menggoda saya dengan sangat indah pada
malam itu, lagi-lagi dengan letup-letupan kembang api keemasan yang berpijar
kelap-kelip, air terjun yang mengalir dari gumpalan awan yang aliran airnya
menggenang menjadi laut jingga emas dengan gelombang-gelombang yang berhamburan
tepat di depan jendela kamar saya. Sebagai tambahan, ia mempersembahkan pula
kuda terbang yang menarik kereta kencana kerajaan, lengkap dengan burung-burung
yang terbuat dari kelupasan langit senja. Betapa saat itu langit merupakan
pagelaran mahakarya yang paling menakjubkan. Saya akhirnya tergoda juga untuk
melihat ke luar jendela kamar. Orang-orang semakin heboh dan berteriak histeris.
“Ayo, turun ke sini. Lekati saya lagi. Resapi saya
lagi. Peluk saya lagi. Ciumi saya lagi. Rebahi saya lagi.” Saya masih ingat
senja mengatakan hal-hal itu.
Saya kaget bukan main mendengar senja
bisa-bisanya berbicara seperti tadi. Saya bersumpah bahwa saya tidak pernah
melakukan apa-apa dengan senja. Saya sudah katakan kepada kalian untuk kedua
kalinya, atau mungkin untuk yang terakhir kalinya, hubungan saya dan senja
hanya sebatas hubungan antara manusia yang menyukai langit sebagai karya Tuhan.
Tidak sampai secinta dan segila itu. Tidak sampai ada kontak fisik, apalagi
main peluk, cium, rebah-rebahan segala. Tidak sampai segitunya saya memaknai
rasa suka saya terhadap senja.
“Saya tidak pernah berbuat begitu dengan kamu.
Memikirkan saja saya tidak pernah!”
“Tapi sekarang kamu dapat melakukan apa saja
dengan saya. Nikmatilah keindahan saya sesuka hati kamu, sepuas hati kamu.” Ia
mecoba menggoda lagi. Percikan kembang api jingga keemasan itu menyentuh tubuh
saya. Gelombang-gelombang air terjun jingga keemasan itu pun menyembur tangan
saya dengan lembut.
Senja tidak mengerti bahwa saya bukan lelaki yang gampang digoda. Saya marah besar saat itu, tetapi lagi-lagi saya maklum.
Saya tahu bagaimana perasaan orang yang rayuannya ditolak dan diabaikan
mentah-mentah, pasti seseorang itu bakal kesal bukan main. Senja mungkin tidak
dikategorikan sebagai orang, tetapi mungkin kurang lebih rasanya sama.
“Semua orang juga tahu kamu memang indah.
Orang buta juga tahu. Tapi, maaf, kamu sudah kelewatan, Senja.” Saya tutup
jendela kamar saya dan saya tutup pula tirainya. Saya tidak lagi berniat
sedikit pun untuk menikmati senja itu lagi.
“Cewek sinting! Bajingan!” bentaknya.
Dan hari ini merupakan puncak dari pertemuan
saya dengan senja.
“Sekarang katakan, kamu ke mana saja?”
“Saya tidak bisa jelaskan. Saya bilang, kamu
tidak akan pernah ngerti!”
“Tapi kan kamu bilang saya indah. Kamu suka
saya! Harusnya kamu datang dan ketemu saya lagi! Resapi keindahan saya lagi!”
“Tidak lagi.”
Saya melakukan hal yang sama ketika hari
kemarin ia datang malam-malam tanpa izin di langit rumah saya: melengang begitu
saja masuk rumah, mengunci pintu rapat-rapat, menutup dan mengunci setiap
jedela rumah rapat-rapat, begitu pula dengan tirainya. Tanpa pamit. Tanpa jabat
tangan. Tanpa melambai. Saya tahu ini memang tindakan yang kurang sopan. Tetapi,
untuk yang sekarang, saya sudah hilanng kesabaran. Saya tidak ingin diusik oleh
senja lagi. Ia sudah terlalu jauh memaknai hubungan kami. Caranya sudah kampungan.
Saya makin hilang rasa suka sampai akhirnya mati rasa.
Saya kira hanya manusia saja yang diberi
kesabaran. Senja itu ternyata memiliki kesabaran juga. Mulai detik itu pula,
seluruh kesabaran yang dimiliki senja runtuh seketika. Kesabaran ia terhadap
saya sudah mencapai ambang batasnya. Ia pergi begitu saja ketika saya bilang
bahwa ia bukan lagi sesuatu yang saya suka. Langit jingga keemasan itu memudar.
Bola matahari jingga keemasan menciut hingga lenyap. Mega-mega bertebaran yang
dilemparkan dari pancaran sinar matahari itu kini telah menyublim menjadi gas. Langit-langit
yang bewarna biru keperakan atau merah keemasan telah luntur. Kembang api senja
mungkin telah layu. Air terjun jingga keeemasn berhenti mengalir.
Gelombang-gelombang surut. Tidak ada lagi kereta istana, apalagi kuda terbang.
Tidak ada lagi senja pada langit di atas rumah saya. Atau bisa jadi tidak ada
lagi senja untuk saya.
Ternyata benar. Mulai saat itu, tidak ada lagi
senja untuk saya.
Saya sempat berniat untuk meminta maaf kepada
senja suatu hari. Saya mengunjunginya kali ini dengan berniat untuk meminta
maaf, dengan mengajaknya minum teh bersama-sama atau saya traktir makan. Tetapi,
pada waktu senja, langit berubah warna menjadi abu-abu polos. Tidak ada apa-apa
pada langit itu. Tidak ada awan. Tidak ada matahari. Saya naik ke atap gedung
berlantai dua puluhan untuk mengetuk pintu langit senja, tetapi tidak ada respon
apa-apa. Di muka langit dituliskan dalam sebuah kertas: “Senja tidak sedang
berada di rumah.”
Saya tahu ia ngambek besar-besaran. Bisa
dilihat dari bagaimana ia menampilkan dirinya. Langit senja dapat dinikmati
oleh pasang mata orang-orang lain, sedangkan di atas kepala saya langit senja
hanya berupa langit abu-abu polos yang mengikuti ke mana saja saya pergi. Tidak
ada satu pun orang yang mengeluh tentang perginya senja dari hamparan langit,
karena hanya sayalah satu-satunya orang yang tidak bisa melihat senja itu lagi.
Padahal, saya ingin menjelaskan kepadanya
bahwa hubungan saya dengannya memang tidak begitu istimewa. Saya hanya suka pada
senja, tetapi bukan jatuh cinta. Sebegitu sintingnyakah saya hingga saya tidak
bisa mencintai manusia lain, sehingga harus berpacar-pacaran dengan langit? Saya
ingin mengatakan bahwa saat ini saya sedang jatuh cinta yang teramat dalam
terhadap seseorang, yang kehadirannya telah menandingi keindahan mana pun yang
pernah tercipta di dunia ini, termasuk senja. Saya jatuh cinta terhadap seorang lelaki. Manusia. Bukan benda mati. Bukan langit. Tetapi, sesuatu yang
benar-benar hidup dan bisa saya kasihi. Syukur-syukur sehidup semati.
Tadinya saya kepikiran untuk mengenalkan kekasih
saya pada senja, tapi bodo amatlah. Sudah saya bilang, dia pasti tidak bakalan
ngerti jatuh cinta. Paling-paling dia iri kalau ia tahu keindahannya ada yang
bisa menandingi.
Bardjan, 2014
Untuk Wilaga Azman Kharis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar