“Mari
mulai bicara.”
“Bicara
tentang apaan?”
Sedari
tadi, sepasang kekasih itu memaku perbincangannya pada satu titik: bicara tentang apaan? Sebab dari berpuluh menit pertemuan yang telah
mereka lalui, mereka tidak berhasil membuat obrolan yang mulus yang dapat
bergulir dengan ritmik dan menyenangkan. Semua hanya basi-basian.
“Kalau
hanya small talks, di chat saja, tho?” tanya si lelaki, beberapa
detik setelah ia menyeruput secangkir kopi untuk yang kesekian kalinya sebagai
penghilang suntuk yang ia ciptakan sendiri dengan wanita itu. Lebih tepatnya,
menyeruput kopi hanyalah manuever buatan si lelaki itu untuk menutupi
ketidaknyamanannya berada di dekat si perempuan.
Di
seberang kursinya, si perempuan mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang
tergeletak di meja. Ia membakar ujungnya dengan zippo-nya. Selagi membakarnya,
si perempuan itu menghisapnya pelan-pelan, menyaksikan dengan khusyuk bagaimana
api dari korek itu membakar hingga bara-bara api itu menyala di bagian
ujungnya.
“Mari
kita berbicara tentang api,” kata si perempuan setelah ia menghempaskan asap
rokok itu melalui bibirnya yang kering.
“Api?
Api apa?”
“Apinya
meredup. Apimu. Api di matamu.”
“Begini,
Nona. Banyak hal yang harus saya lakukan. Kalau kamu boleh tahu, berbicara
dengan analogi seperti yang sedang kamu lakukan sekarang, bukanlah suatu hal yang
praktis dan menghemat waktu sebab saya harus mengupas maknanya terlebih dahulu.
Hal yang demikian itu lebih memerlukan banyak waktu.”
Geli.
Si perempuan yang sedang menghisap rokok itu buru-buru melepaskan hisapannya
saking gelinya ia ingin tertawa. Kemudian, ia tertawa kecil. Kepul asap
berhamburan satu-satu dari mulutnya ketika ia tertawa.
“Dulu
ya, Mas. Dulu, kamu suka sekali dengan analogi. Bahkan, kamu tidak perlu, tuh,
yang namanya sok-sok nyeruput kopi terus. Dulu cangkir minuman kita awet banget
habisnya.”
Lelaki
itu tidak merespon apa-apa.
“Dulu
kita ngobrolin apa aja, Mas. We even
talked about nothing, or something. Something about nothingness. Nonsense.
Tapi kita menikmatinya.”
Seraya
menundukkan kepalanya, lelaki itu menyadari betapa sangat dulu ‘dulu’ yang dimaksud oleh perempuan itu. Saking dulunya si
‘dulu’ itu, saking sudah lupa diingat kapan persisinya terakhir kali ‘dulu’
yang dimaksud perempuan itu. Tapi bagi si wanita, dulu itu baru saja
kemarin-kemarin, tepatnya seminggu yang lalu, ketika api yang dimaksudkan si
perempuan tadi itu kian lama nyalanya kian redup, tidak lagi menyalak terang
seperti biasanya.
“Saya
minta maaf, tapi saya benar-benar banyak kerjaan.”
“Apa
itu penting? Lebih penting mana sama saya?” Perempuan itu memanja.
“Lebih
penting kerjaan saya.”
Tiba-tiba
malam itu jadi tak bernyawa bagi si perempuan. Si perempuan menaruh sebatang
rokonya pada bibir asbak. Seketika nafasnya megap-megap kewalahan untuk
melanjutkan hisapan rokoknya.
“Apa
kabarnya dia?” tanya si perempuan.
“Tidak
pernah dia sebaik ini.” Si lelaki mengatakannya dengan sedikit senyuman di
bibirnya. Walaupun sedikit, sudah cukup membuat nafas wanita itu semakin
megap-megap. Sudah seminggu lamanya, dari mulai minggu lalu hingga barusan,
inilah kali pertama ia melihat wajah si lelaki itu begitu merona. Bangsat,
kutuk si perempuan.
“Bangsat!”
“Kamu
suruh saya temuin kamu cuma untuk dibangsat-bangsatin?”
“Kamu
lagi bahagia, Mas. Anjing!” Tenggorokannya kini gatal, dan gatalnya menyeruak
sampai ke hidung. Matanya mulai geli dengan air mata. Beberapa detik ke depan,
ia sudah tidak dapat lagi menahan air matanya.
“Jangan
nangis di sini, dong. Lihat, tuh, orang-orang pada lihat.” Pengunjung kafe
hadir dalam hitungan jari pada malam itu, dan setiap dari mereka dengan
berhati-hati mencoba melihat ke arah si lelaki dan perempuan, meskipun hanya
sekejap. Beberapa dari mereka curi-curi pandang penasaran.
Si
perempuan itu kini menangis sambil mengumamkan beberapa jenis serapah.
“Baiklah,
mari kita berbicara tentang api. Api saya. Api di mata saya. Nih, lihat, nih, mata saya, nih. Dengarkan, tapi
jangan sambil nangis. Deal?” Si
lelaki mencoba menenangkan tangisan si perempuan yang makin sejadinya.
Akhirnya
ia bercerita mengenai api. Api yang
meredup. Api yang akhirnya padam pada
malam itu. Pembicaraan mengenai api itu
menghabiskan beberapa batang rokok untuk dibakar oleh si perempuan. Pun si
lelaki sama sekali lupa untuk meneguk kopinya. Pembicaraan tentang api itu
adalah pembicaraan yang terakhir, sekaligus pertemuan terakhir antara si lelaki
dan si perempuan.
“Maaf.”
Itulah yang terakhir diucapkan oleh si lelaki. Perempuan itu berdiri dari
kursinya, lalu pergi.
Di
bibir asbak, api pada ujung batang rokok si perempuan belum juga padam. Ini
batang kelima malam ini. Untungnya, api di matanya sudah padam.
Belum.
Setidaknya,
mulai meredup pelan-pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar