Kawan, melupakah kau pada kebebasan yang asalnya ditulis dari
puisi yang tintanya darah
dari jari penyair yang selaian piawai dipakai nulis
pun piawai nunjuk-nunjuk langit terik sampai jari telunjuknya
burik
di baris depan sembari mulutnya busaan mekekik-mekik?
Menghardik kezaliman tirani
atas kesemena-menaan pada orang kecil macam kami
yang melulu mengumpat dalam sunyi, takut digebuki
takut disetrum sambil ditelanjangi
Tapi penyair itu membuat tirani pengecut, Kawan
Tirani sebegitu kejam takut pada puisi
merasa dipecundangi puisi-puisi dari penyair kerempeng,
berkaos oblongnya putih kumal,
ke mana-mana pakai sandal,
dengan satu mata lebam bekas dihantam anjing-anjing
bersenjata
Diburulah ia ke ujung negeri,
bersembunyi dari pulau ke pulau, dari dusun ke dusun
Istri dan anak menanti dering telepon mengantarkan kabarnya
sekadar memastikan si penyair belum mampus dibedil
Dalam sembunyi ia tak nyerah bersajak mengenai kelaliman
penguasa
dan anteknya yang sedang ongkang-ongkang kaki di istana
Sedang di luaran mukanya dipamerkan surat kabar sana-sini,
pun anjing-anjing bersenjata anak buah tirani
makin ganas mengendus jejaknya
Lama-lama tirani gelisah
bukan main
sebab hari ke hari puisinya mendobrak kami yang sedang
melamun di bilik-bilik kamar
bangun dan melawan
meski satu-satu kawan hilang berjatuhan
Hingga tibalah hari raya kami saat tirani dirobohkan, Kawan
Kami kuat berbaris di jalan-jalan
tidak takut lagi digebuki atau disetrum sembari ditelanjangi
Persetanlah anjing-anjing bersenjata yang merobek barisan
kami
Yang kami ingat hanya kata akhir dalam bait puisi si penyair;
Lawan!
Puisi penyair itu bergaung di setiap barisan
dipekikkan keras-keras melawan dentuman bedil yang berulang
kali menembus dada
dan kepala kawan-kawan
Namun si penyair menghilang sejak itu
Tak kembali pulang hingga begini waktu
Kabar kemenangan boro-boro tahu
Mungkin kena bedil atau dibikin-bikin hilang, toh siapa
tahu?
Sedang istri dan
anaknya menaruh harap ketinggian
pada ombak yang berjanji pulang kepada pantai,
mengisahkan penyair yang hilang tanpa meninggalkan bangkai
Hanya meninggalkan puisi
yang bersaksi atas tirani yang pernah
tak berkesudahan memenjarakan kami dalam bungkam sunyi
Sementara teleivisi menyiarkan tokoh-tokoh kesohor negeri asuhan
tirani
ngomong-ngomong hak asasi
sambil minum kopi
untuk Wiji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar