Boleh dibilang ini surat dari penyuka rahasia. Adakah orang-orang di sana menyebut dengan istilah serupa?
Bahkan
saya melemparkan banyak tetanya kepada diri sendiri; menghardik sampai gemas
ketika menyadari betapa beraninya saya menuliskan ini untuk kamu. Jangankan
menulis, memulainya pun saya tidak kepikiran sebelumnya. Jangankan kepikiran
untuk menulis, membayangkan kamu akan membacanya suatu hari saja membuat saya
bergidik ngeri. Adakah misalnya saya dituduh gila yang kedua kali?
Kamu
boleh omong saya gila, sebab ketika saya menekan tuts kibor hingga sampai pada
kalimat ini, saya pun nyadar betapa gilanya saya. Sekali lagi melempar tetanya
pada diri, hal bodoh yang mana lagi yang telah saya lakukan? Tetapi kamu jangan
salah sangka dulu. Saya menulis ini tanpa maksud apa-apa, terlewat murni tanpa
maksud apa-apa. Saya hanya merasa bahwa ada lebih dari lima ratus butir kata
yang dari kemarin-kemarin sudah sembarangan menggelitik kerongkongan saya. Saya
pernah bilang, gatal rasanya. Gatal. Sudah saya garuk ulang-ulang tetapi
makin-makinlah gatal.
Izinkan
saya mulai berkata-kata tentang perasaan yang suka jahil mengganggu saya tanpa
kenal waktu, mau siang mau malam. usil Di sisi lain saya tahu betul bahwa
terkadang kata-kata hanya menghancurkan semuanya. Maka dari itu, ketika kamu
selesai membaca ini, saya dapat nerima apa pun bentuk risikonya. Kamu boleh
sebal. kamu dipersilakan jijik. Kamu dipersilakan pura-pura lupa kita pernah
kenalan. Tetapi ingat, kamu, jangan pernah salahi saya ketika saya punya rasa.
Memang ini salah saya, tetapi Kamu pun
turut serta, bukan? Namun, beribu sungguh, saya tidak mengharapkan apa-apa dari
Kamu. Sedikit pun saya berani janji, tidak. Murni. Kamu bisa bedil kepala saya
kalau dirasa itu perlu.
Tetapi
ternyata kamu salah. Saya tidak gila. Justru ketika menulis ini saya yakin
betul bahwa saya sedang waras-warasnya.
Terima
kasih telah menjadi hangat dalam secangkir teh saya. Terima kasih sudah jadi
penghibur yang menenangkan. Senja jadi muram ketika kamu datang. Rembulan pucat
pasi ketika kamu senyum. Bukan hal ajaib lagi ketika banyak kawan nyaman berada
dekatmu berlama-lama, terutama perempuan. Biarkanlah saya beranalogi kecil-kecilan
mengenai betapa nyamannya saya di dekat kamu. Kamu itu candu. Suaramu, matamu,
tertawamu, kelakar dan jenakamu, ramahmu, amarahmu, hingga kulitmu yang mungkin
tidak sengaja menyentuh kulit saya...Walaaah... Sungguh saya nyerah untuk
lanjut menuliskan. Saya tidak berani membayangkan betapa banyaknya hal-hal yang
membuat banyak orang lain, terutama perempuan, rela untuk berada di dekatmu.
Membayangkannya saja saya tidak berani. Begitu indah. Sampai-sampai dari tadi
senja mencak-mencak karena cemburu. Ia marah karena ada yang mampu menandingi
keelokannya.
Bahkan
ketika saya sedang berdua saja denganmu, waktu berhenti berputar. Saya yakin
betul adanya. Saya sempat tengok arloji saya waktu itu, dan benar adanya bahwa
waktu membeku. Saya pun jadi buta waktu. Kemudian, setiap milisekon pun
benar-benar saya resapi dengan sepenuh daya. Tidak boleh ada remah waktu yang
tersisa. Sayangnya, ketika waktu kembali pulang kepada arloji kita
masing-masing, semua terasa berlalu begitu cepat. Sesal datang seenaknya,
seraya bicara: mengapa waktu berharga berdua tadi tidak saya manfaat dengan
sebaik-baiknya? Padahal, betapa waktu benar-benar statis pada saat itu. Lalu
saya mengutuksumpahi diri sendiri, seakan-akan punya hutang. Seakan berkata:
mengapa saya membuat semuanya terasa singkat?
Saya
yakin perempuan-perempuan di luar sana satu pikir dengan saya mengenai ini.
Saya berani taruhan.
Dan
saya memang begini adanya. Saya tahu diri dan tahu tempat. Oleh karena itu, daritadi
saya beraksentuasi bahwa saya tidak ada maksud apa-apa. Mengetahui bahwa kamu
membacanya sudah terlalu melewati kecukupan saya. Terima kasih, Tuan. Dengan
menulis ini, saya berani jamin bahwa tidak ada keterlibatan hati di sini. Dalam
hal seperti ini, menggunakan hati artinya bersiap untuk mati. Saya tidak
terlalu bodoh untuk menggunakan hati saya lagi, atau untuk mati yang kedua
kalinya. Jadi, saya menulis ini dimaksudkan untuk berterima kasih karena kamu
sudah jadi telaga yang menyegarkan padang dahaga di dalam sini.
Saya
merasa bodoh menulis ini. Sekadar dua halaman tetapi sudah bikin saya
kelimpungan setengah modar. Anggap saja hanya remeh-temeh atau basa-basi
belaka, karena memang adanya begitu. Sebab kereongkongan ini sudah tidak begitu
gatal. Kata-kata sudah mencuat berhambur-hamburan di atas kertas. Nyaman. Walau
ada juga sedikit rasa sesal mengapa saya harus menulis ini. Jujur, saya sering
malu dengan ketidakbisaan saya mengolah perasaan ke dalam kata-kata. Sebab
perasaan macam ini harusnya didiamkan saja. Sebab kata-kata seringkali hanya
menghancurkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar