Saya
tidak jadi minum kopi.
Ketika
setengah perjalanan menuju kedai kopi, mata saya terbelalak. Ada perhelatan senja
yang indah sedang digelar di langit sana. Warnanya jingga kemerahan,
kadang-kadang suka serupa emas. Ada bola api yang kemerahan, tapi kadang
keperakan juga. Ada awan yang juga jadi jingga, kemudian menyemburkan semburat
mega-mega yang merekah keluar seperti kembang api tahun baruan. Saya dulu
sempat melihat perhelatan langit semacam ini, namun waktu itu saya lebih
beruntung. Saya melihat kereta kencana kerajaan meluncur di langit yang ditarik
oleh kuda-kuda terbang warna putih yang memancarkan sinar. Saya tak bisa
melupakan sore itu selamanya.
Saya
menganggap bahwa sore ini pun saya sedang dapat lotere; menyaksikan langit
senja yang langka seperti kiriman dari taman surga. Entahlah. Mungkin ini salah
satu berkah karena saya sedang tidak pakai topeng. Eh, tunggu. Apakah saya
sudah pernah menulis puisi tentang topeng? Saya bercerita tentang realita di
kolong langit senja ini melalui puisi itu. Topeng.
Sekarang
semua orang menggunakannya. Lihatlah, wajah mereka seperti sudah satu nyawa
dengan topeng itu. Mereka buta, tapi mereka pura-pura bisa melihat. Mereka bisa
melihat, tetapi dalam suatu keadaan terbalik. Mereka melihat kawan jadi lawan,
mereka melihat gelap jadi terang, mereka melihat ketamakan sebagai sebuah
kewajaran, mereka melihat adegan perkosaan sebagai hiburan, mereka melihat arak
sebagai susu soda, mereka melihat pengemis kurus sebagai orang yang kebanyakan
makan, mereka melihat dirinya sebagai orang kurus yang kurang makan. Mereka
bahkan melihat kolam air menjadi kolam api, air sungai jadi api sungai, lautan
jadi lautan api. Mungkin ini salah satu penyebab mengapa mereka jadi lebih
senang mendekati api dan bermain-main dengannya. Mereka melihat bangkai anjing
sebagai sebuah kenikmatan, sampai-sampai mereka memakannya. Mereka melihat
kesedihan saudara-saudaranya sebagai sebuah hiasan, kadang mereka bungkus
butir-butir air matanya untuk dijadikan kalung.
Seperti
yang sudah saya tulis dalam puisi Topeng, hati dan otak para pengguna topeng
itu tidak lagi mengenali wajahnya sendiri. Oleh karena itu, hati mereka mau tak
mau harus menyesuaikan apa yang dilihat topeng itu, sehingga timbullah pikiran
dan perasaan yang sebenarnya sama-sama palsu. Mereka tertawa walaupun tidak ada
yang lucu. Mereka tersenyum ketika sedang digebukin. Mereka kaya padahal kere. Mereka merasa pintar padahal
otaknya guoblok. Mereka waras padahal gila. Yang paling saya sumpah serapahi
adalah, saya kasihan melihat mereka harus pura-pura tidak jatuh cinta ketika
mereka jatuh cinta.
Lihat
lonte itu. Dia pasti sudah sangat ahli pakai topeng. Saya tahu di balik
senyumnya yang jalang, pasti ia menangis pilu karena harus dipakai sana-sini
hanya demi alasan klasik dunia pelacuran; butuh uang. Tak jauh dari situ, saya
melihat empunya kepalsuan. Salah satu suhu pengguna topeng. Kerahnya putih,
dasinya bagus, jasnya bau Gucci, dan sepatunya Kickers asli. Ia baru saja
sarapan duit kami tadi pagi, tapi mukanya tersenyum puas, seperti pahlawan yang
sedang dipuja atas jasa-jasanya. Tak jauh dari si Kerah Putih, saya melihat seorang
ibu yang sedang menggendong anaknya. Ibu itu berbicara kepada anaknya, “Sudah
kenyangkah kamu hari ini, Nak?” diikuti dengan anaknya yang berteriak senang di
pangkuannya, “Sudah,Bu. Hari ini kita makan enak banyak sekali!”
Saya
hanya bisa memandangi orang-orang yang bermacam-macam rupa tetapi sebenarnya
nasib mereka sama. Sama-sama dijungkirbalikkan oleh realitas karena menggunakan
topeng itu. Lebih parahnya lagi , mereka sudah nyaman dengan dunia yang
terbalik ini. Mereka sudah kelewat nyaman melakukan hal-hal yang sebenarnya
bertubrukan dengan hati dan otaknya, yang saya bilang sudah tidak mengenali
wajah mereka sendiri.
Sungguh,
perhelatan di kolong langit tentang para pengguna topeng ini berbanding
terbalik dengan langit senja kali ini. Ketika saya sudah terlalu enek dengan wajah-wajah topengan mereka,
saya kembali menegadah ke atas langit. Ah……senja yang cantik. Kini mega-mega
berhamburan seperti hujan cahaya yang dipercikkan bola api bernama matahari
itu. Warnanya emas dan berkilau. Ada yang sempat jatuh ke tangan saya, ketika
saya genggam percikan itu berubah menyerupai Kristal yang membutir seperti
permata. Saya tersenyum bahagia. Belum pernah saya melihat perhelatan langit
semewah ini. Saya bersyukur karena topeng saya ketinggalan di rumah.
Lamunan
saya terbuyar oleh suara cempreng dari pedagang asongan yang masih seumuran
sekolah dasar. Pedagang topeng yang juga sedang memakai topeng. “Beli
topengnya, Kak. Sepuluhribu satu, limabelas dua!”
Saya
menggeleng.
“Beli
dong, Kak. Saya mohon. Saya butuh uangnya untuk jajan, Kak. Bukan buat beli sepatu sekolah.”
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar