Kamu tahu bahwa aku menyukai rembulan, maka kamu persembahkan rembulan yang paling megah kepadaku sejak itu. “Tidak dibungkus kado tidak apa-apa, kan?” Begitu tanyamu. Aku hanya nyengir saja. Kemudian kamu bertanya,“mau kado apa lagi?” Sudah cukup, kataku. Rembulan saja sudah terlewat cukup. Kamu berjanji akan memberikanku rembulan yang paling indah yang tak akan pernah aku temukan di setiap malam manapun.
Malam itu, kita memaknai tiap detiknya bagaikan menghadiri momentum yang paling sakral. Dan memang begitu pula yang kamu katakan, ada dua momentum sakral yang paling mendasar dalam kehidupan setiap manusia, yaitu pertemuan dan perpisahan. Aku diam. Ada seberkas takut yang mengintip pelan-pelan dari hatiku. Ini bukan perpisahan, kok, hiburku dalam hati.
Kamu adalah perantau dari negeri seberang. Aku masih tak percaya dengan namanya. Ketika aku menanyakan padamu apa nama negeri asalmu, kamu menjawab Padang Rembulan. Aku semakin antusias dengan jawabanmu. Apalagi rembulan adalah hal yang paling kusukai di dunia ini. Ceritakan kepadaku apa yang membuat negeri itu dinamakan Padang Rembulan. Apakah aku akan bertemu dengan banyak rembulan dengan rupa-rupa yang berbeda yang setiap malam bergiliran untuk menampakan diri? Apakah di sana akan selalu terbit rembulan yang bulat telanjang dengan cahaya mega yang bewarna kuning emas dengan kulit lembut dan juga udaranya yang hangat berjabat tangan dengan bintang di sekelilingnya?
Sial, kamu diam saja. Ayo jawab, paksaku. Kamu menjawab dengan sangat sederhana bahwa nanti aku juga akan mengetahuinya. Apakah itu artinya suatu saat aku akan bisa mendarat di Padang Rembulan itu, menikmati ribuan bahkan ratusan ribu rembulan yang paling megah dan merona? Untuk yang ini, kamu langsung menjelma menjadi batu, sepenuhnya tidak menjawab. Tapi beberapa hari selanjutnya, kamu berkata padaku bahwa rembulan di Padang Rembulan itu berbilang tunggal, hanya satu-satunya. Dan itulah rembulan yang akan kamu jadikan kado untukku, yang akan kamu kirimkan setiap harinya dari sana.
Itu artinya di negerimu tidak akan ada lagi rembulan, dong?
Kemudian kamu menambahkan, kamu tidak akan keberatan kehilangan rembulan tunggal di kampung halamanmu. “Karena rembulan yang paling indah dalam hiduku dengan cahaya mega yang semburat tanpa temaram serta wujud bulat sempurna yang menenangkan jiwa, adalah kamu.”
Malam itu, yang kita lewati dengan berdansa di bawah cahaya bulan, bercumbu, menggeliat mesra dengan kata-kata rayu, salling mencubit dan menggamit dari sisi kiri ke kanan, berirama berulang kali. Tibalah hari baru di mana aku harus melihatmu berpisah. Kita bersumpah bahwa ini bukan perpisahan yang akan melempar kita jauh sebagaimana dua anak panah yang dihantarkan secara berlawanan sampai sejauh-jauhnya, yang satu meluncur ke bulan, yang satu lagi meluncur ke matahari.
“Jangan menangis. Di rembulan tidak boleh ada air karena kalau ada, nanti keindahannya bisa-bisa luntur.” Begitu katamu. Ini tidak akan lama, aku janji.” Begitu katamu. Namun aku tetap saja menangis.
Dan mulai sejak hari itu, kamu tak pernah ingkar janji. Bagaimana tidak? Aku terkesima ketika di pagi hari kuintip lewat jendelaku, ada rembulan yang menyembul di ufuk langit. Aku baru lihat yang semacam ini dalam hidupku. Mungkin manusia-manusia di bumi ini baru melihat kejadian serupa. Rembulan itu sangat cocok dengan apa yang pernah kita visualisasikan bersama; bulat sempurna dan cahaya semburat keemasan dari setiap inchi permukaanya. Aku mencoba menyentuh kulitnya dengan naik ke atap rumah, benar-benar terasa lembut seperti menyentuh gunduk kapas. Sempurna! Persis seperti apa yang aku pesan. Ini adalah rembulan yang paling indah yang pernah aku lihat seumur hidup. Cahayanya bersinar sepanjang hari, bukan hanya malam. Pagi, siang, dan sore. Bagaimana bisa kamu mengirimkan rembulan semacam ini untuk terus terbit sepanjang hari tanpa perlu bertengkar hebat untuk berebut tempat dengan matahari dan embun pagi, matahari dan terik siang, dan matahari senja? Bagaimana kamu bisa membuat rembulan ini berdamai dengan mereka?
Ketika aku bertanya padamu mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas melalui sepucuk surat, kamu hanya menjawabsuratku satu kalimat singkat , padat, dan tak akan pernah kulupa: “rembulan itu akan terus terbit di situ dan akan selalu mengikutimu selama aku mencintaimu....”
Aku tersipu malu. Bagaimana tidak? Rembulan itu terus mengikutiku sepanjang hari ke manapun aku pergi. Ke mana pun aku datang, rembulan itu pasti ada di sana. Selalu aku sempatkan untuk beristirahat sejenak di atas bukit, menyentuh permukaan kulitnya, membelainya, kadang memain-mainkan cahayanya ke dalam pupil mataku. Aku bahagia melakukan ini setiap hari karena dengan ini aku bisa merasakan bagaimana di dekatmu. Cahayanya yang hangat dan terang adalah dekapamu, sedangkan kelembutan kulitnya adalah pelukmu yang tenang. Rinduku masih bisa kukirim dari jauh, begitu pun rindumu. Cinta memang tak butuh sesuatu yang konkret, bukan? Maksudku, sepasang kekasih tidak perlu saling bertemu, saling berpeluk, dan saling mencium. Cukup dengan isyarat yang mampu menciptaakn getaran yang merangkak melalui partikel-partikel untuk diresapi satu sama lain sehingga kita bisa saling merindukan dan saling percaya.
Lihat apa lagi yang terjadi di bumi ini. Ini ulahmu! Aku tertawa geli. Banyak orang orang yang berkumpul di dekatku hanya untuk menyaksikan bagaimana rembulan ini selalu mengikutiku ke manapun, ada yang mencoba melompat-lompat untuk memeluknya, ada beberapa anak kecil yang mencoba mencungkil kulitnya dengan tongkat bambu, dan banyak yang mencoba mengabadikannya lewat tustel. Kejadian ini berlangsung setiap hari. Pagi, siang, sore, malam. Banyak orang asing yang berkunjung ke rumahku untuk bertanya-tanya bagaimana bisa aku memiliki rembulan ini terparkir di langit tepat di atas atap rumahku. Bahkan ada yang sampai meminta izin untuk naik ke atas loteng untuk menikmatinya lebih jelas. Hanya dalam hitungan hari hampir seisi bumi ini digemparkan oleh kedatangan rembulan ini. Wartawan-wartawan dari Moskow, Cordoba, Roma, dan lain-lainnya datang untuk menanyakan secara langsung mengapa rembulan ini selalu abadi hingga hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan.
Aku jawab saja,”karena cinta.”
Di malam hari, ketika semua orang tertidur lelap dan tidak memedulikan kehadiran rembulanmu, giliran aku yang naik ke atas loteng, berdiri di ujungnya sambil memejamkan mata, merasakan setiap getaran yang meresap dari kulit lembutnya menuju celah-celah di tubuhku. Kubuka kedua bola mataku, lalu kupandang lekat semburat cahaya keemasan itu merambat melalui retina dan mengirimkannya perlahan ke lubuk hati. Kusentuh kulitnyadengan ujung jari, pelan-pelan dari atas ke bawah. Oh rembulan.....ucapku lirih.
Aku tak bisa lagi menuliskan perasaanku betapa aku kagum mengetahui bahwa kamu sangat lihai dalam mengerjai rindu; membuatnya lebih terkemas dengan kemasan yang menarik dan dengan cara yang tak akan pernah bisa dicontek orang. Dan itu sudah terlalu cukup untuk tidak lagi bertanya apakah kamu mencintaiku atau tidak. Aku percaya. Aku selalu percaya. Dari dulu aku selalu percaya.
Aku bertanya padamu apalah alasan aku harus mempercayaimu. Beri saja aku dua alasan. Ah, baiklah, tiga. Supaya aku lebih yakin. Ini bisa dijawab dengan mudah, katamu, lantas berkata bahwa satu alasan saja sudah cukup.
“Aku setia,” jawabmu santai. Itulah satu alasannya.
“Sekarang beri aku bukti.”
“Rembulan itu..... Masih di sana, bukan?”
Ya, memang. Rembulan itu memang selalu di sana. Sayangnya, itu satu tahun yang lalu.
Aku menunggumu berbulan-bulan hingga kering tubuhku dihadang rindu yang tak pernah ada lagi balasannya. Lebih parah dari itu, terkoyak habis semua tubuhku dari mulai daging hingga belulang digerogoti waktu yang semakin tak punya jawaban atas kehadiranmu. Aku tak bisa lagi bernafas dengan bebas; udara itu sudah kupakai hanya untuk menunggumu sambil menahan tangis.
Jangan menangis. Di rembulan tidak ada air karena kalau ada, nanti keindahannya bisa-bisa luntur. Begitu katamu. Ini tidak akan lama,aku janji, begitu katamu. Namun aku tetap saja menangis.
Dan aku harus menerima kenyataan yang kukutuk sumpahi tak ingin kualami sampai wafat: rembulan itu kini terpotong setengah bagian. Ketika kuraba permukaannya yang lembut berubah menjadi peyot, makin terkikis dari hari ke hari. Dalam hal ini, aku tak akan pernah membiarkannya habis jadi kikisan. Aku mengumpulkan pasir halus di pantai, kemudian mencoba meratakannya ke tubuh rembulan itu. Tak lupa juga rutin setiap pagi hingga matahari tenggelam aku berjalan ke arah di mana matahari terbit sehingga rembulan itu bisa mengikutiku untuk mendapatkan cahaya matahari. Cahaya bulan itu kini semakin redup dan perlahan mega emas itu melempem sekaligus temaram. Aku tak tahu lagi apa yang aku harus lakukan selain merawatnya agar tidak terkikis habis. Aku tak akan pernah bisa memaafkan diriku jika bingkisan terindah ini hilang. Aku tak punya apa-apa lagi untuk merasakan kehadiranmu.
Namun, aku terus menulis surat untukmu walaupun tidak pernah ada balasan. Pikiranku melenceng ke sana-sini; kamu tertabrak pesawat jet dalam perjalananmu ke bumi, kamu diculik oleh alien dari planet Mars, atau kamu tertabrak Sabuk Kuiper lalu terpental jauh hingga masuk black hole. Semakin banyak pikiran-pikiran itu menyesaki ruang di otakku, semakin gusar hatiku ini. Sambil menulis surat selalu kutengok rembulan itu dari jendela. Semakin temaram hingga cahaya keemasan itu semakin karatan. Tapi aku selalu percaya, selama rembulan itu masih ada, kamu akan selalu mencintaiku.
Bahkan jika rembulan itu harus lenyap dari langit, aku masih tetap percaya bahwa kamu masih mencintaiku.
Dan malam ini, tepat malam ini, aku menyaksikan lewat ekor mataku sendiri, rembulan itu lenyap secara utuh. Tak ada yang tersisa secuil partikel pun di atas sana, hanya hamparan luas langit malam yang gelap dan polos. Aku bahkan tak sempat menonton proses pengikisannya dalam gerakan slow motion. Sementara dunia kembali digemparkan dengan berita bahwa rembulan telanjang bulat dan semburat keemasan yang paling indah di muka bumi ini hilang tiba-tiba, aku hanya bisa mengunci diri di dalam rumah dan duduk jadi patung di depan perapian. Banyak orang-orang bergumul di luar untuk membuktikan secara langsung bahwa rembulan favorit mereka hilang dari ufuk langit. Aku, secara diam-diam, bagaimanapun juga,ingin sekali membuktikan mengapa rembulan itu hilang seraya dengan ketidakhdiran kabar darimu.
Namun sampai kapan pun aku percaya kamu pasti akan pulang. Rembulan itu hilang bukan karena kamu tidak mencintaiku lagi. Mungkin ia harus diganti dengan yang baru, masa berlakunya sudah habis, sudah kadaluwarsa, atau harus diisi ulang. Aku percaya bahwa kamu pasti akan membingkiskan aku lagi rembulan yang serupa. Dan yang paling penting adalah, aku percaya bahwa cinta itu tak akan temaram, peyot, dan terkikis bersama malam.
Seorang wartawan mengetuk-ketuk pintu rumahku yang sengaja kukunci paling rapat. Aku tak menjawab apalagi membukakan pintu untuknya.
“Mbak, bagaimana bisa rembulan itu hilang?”
“Mbak, jawab! Apa karena cinta?”
Esok malam, rembulan itu datang lagi ke ufuk langit dengan wujud yang sama seperti setahun yang lalu, dengan cahaya mega yang semburat tanpa temaram serta wujud bulat sempurna yang menenangkan jiwa. Ya, orang-orang berkerumun seperti setahun lalu. Cahaya kamera kelap-kelip, mereka berebut untuk foto bersama. “Giliranku, giliranku!” Anak-anak berebut untuk mencungkilnya dengan tongkat bambu. “Ini buat hiasan pintu.” Ibu-ibu pun memasukan cahayanya ke dalam kantung plastik dan mengikatnya kuat-kuat. “Yang ini lampu paling terang. Kita tak usah pake lilin lagi.” Bahkan sekarang profesor-profesor pintar berusaha mengabil sampel cahayanya untuk diteliti. Hasil penelitian mereka merumuskan bahwa rembulan itu adalah rembulan cinta.
Mereka kelihatan bahagia melihat rembulan itu menggantung lagi di sana dengan bentuk paling sempurna, persis seperti setahun yang lalu. Tanpa cacat. “Yang ini, sih, pasti dari Padang Rembulan lagi,” ucap salah satu bapak-bapak sambil mengelus-elus permukaan rembulan itu.
Sayangnya, rembulan sudah bukan lagi hal yang paling kusukai di dunia.
Lagipula rembulan itu tidak lagi berdiam di depan rumahku dan tidak mengikuti ke manapun aku pergi. Ada satu aku yang baru di tengah kerumunan itu. Lantas, aku ingat satu hal. Rembulan tunggal, katamu.